Abdoel Moethalib Sangadji, lebih dikenal dengan nama A.M. Sangadji atau dengan julukan Jago Tua, lahir pada 3 Juni 1889 di Rohomoni, Pulau Haruku, Maluku Tengah. Ia wafat pada 20 April 1949 di Yogyakarta. Sangadji berasal dari keluarga bangsawan Maluku yang pada masanya memiliki kedudukan penting di Kesultanan Ternate.
Ayahnya bernama Abdoel Wahab Sangadji, seorang raja setempat di Haruku, sementara ibunya, Siti Saat Patisahusiwa, merupakan putri raja Sirisori dari Pulau Saparua. Latar belakang keluarga bangsawan ini memberi kesempatan bagi Sangadji untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dibandingkan kebanyakan anak bumiputera pada zamannya.
Latar Keluarga
Keluarga Sangadji merupakan bagian dari keluarga besar Hatuhaha yang memiliki posisi penting dalam tatanan sosial masyarakat Maluku. “Sangaji” sendiri merupakan gelar wakil Kesultanan Ternate untuk Pulau Haruku. Dari latar ini, A.M. Sangadji tumbuh dengan kesadaran akan peran politik, sosial, serta tanggung jawab terhadap rakyatnya. Didikan orang tua serta tradisi keluarga yang menjunjung tinggi kepemimpinan dan keberanian menjadi pondasi penting dalam perjalanan hidupnya kelak.
Pendidikan
Sebagai anak bangsawan, Sangadji berkesempatan menempuh pendidikan di sekolah Belanda. Ia pertama kali bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), kemudian melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Pendidikan ala Barat ini membuka wawasannya terhadap politik, administrasi, dan modernisasi, yang kemudian ia terapkan dalam perjuangan untuk rakyat.
Setelah lulus, ia sempat bekerja di kantor kontrolir Saparua dan kemudian di kantor residen Ambon. Meski berkarier dalam jalur administrasi kolonial, semangat kebangsaannya mendorongnya untuk terjun lebih jauh ke dunia pergerakan nasional.
Karier & Aktivitas Publik
Karier pergerakan A.M. Sangadji dimulai ketika ia bergabung dengan Sarekat Islam, sebuah organisasi yang ia dirikan bersama tokoh-tokoh besar seperti H.O.S. Tjokroaminoto dan H. Agus Salim pada tahun 1912. Melalui Sarekat Islam, ia aktif mengorganisir rakyat untuk menentang ketidakadilan kolonial dan menumbuhkan kesadaran kebangsaan.
Pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, yang melahirkan ikrar Sumpah Pemuda, A.M. Sangadji turut hadir sebagai peserta. Kiprahnya ini menegaskan perannya dalam salah satu momen terpenting sejarah bangsa.
Tidak hanya aktif di Jawa, Sangadji juga berkiprah di Kalimantan. Pada dekade 1920-an, ia mendirikan Balai Pengadjaran dan Pendidikan Rakjat (BPPR) di Samarinda, sekaligus mengelola Neutrale School untuk menampung anak-anak bumiputera. Melalui pendidikan, ia berusaha memutus rantai ketertinggalan dan membekali generasi muda dengan ilmu serta semangat kebangsaan.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sangadji bergerak aktif menyebarkan kabar kemerdekaan di Kalimantan, dari Samarinda hingga Banjarmasin. Ia juga mengibarkan bendera Merah Putih di berbagai wilayah, simbol semangat untuk melawan kembalinya penjajah.
Kemudian, ia memimpin Laskar Hisbullah yang berpusat di Yogyakarta. Di bawah kepemimpinannya, ia menugaskan R. Soedirman (bukan Jenderal Sudirman, melainkan tokoh daerah) untuk membentuk laskar di Martapura dan Pelaihari. Peran ini menegaskan dirinya sebagai pemimpin lapangan yang berpengaruh dalam perjuangan bersenjata melawan kolonial.
Prestasi & Karya
Beberapa kontribusi penting Abdoel Moethalib Sangadji antara lain:
- Pendiri Sarekat Islam (1912) bersama tokoh nasional lainnya.
- Peserta Kongres Pemuda II (1928) yang melahirkan Sumpah Pemuda.
- Perintis pendidikan rakyat di Kalimantan melalui Balai Pengadjaran dan Pendidikan Rakjat serta Neutrale School.
- Pemimpin penyebaran berita proklamasi ke berbagai daerah Kalimantan pasca 1945.
- Komandan Laskar Hisbullah di Yogyakarta, dengan kiprah strategis dalam perjuangan bersenjata.
Julukan “Jago Tua” yang disematkan kepadanya mencerminkan pengakuan atas keberanian, karisma, serta pengalaman panjangnya dalam memimpin rakyat.
Visi dan Kontribusi Positif
Visi A.M. Sangadji berakar pada tekad untuk membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu kolonialisme dan kebodohan. Ia percaya bahwa pendidikan adalah salah satu jalan utama untuk mencerdaskan bangsa. Sementara itu, peranannya di organisasi pergerakan, kongres kebangsaan, hingga perjuangan bersenjata menunjukkan komitmennya pada kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berdaulat.
Kontroversi
Sebagai tokoh pergerakan, A.M. Sangadji tentu tidak lepas dari sorotan pihak kolonial. Belanda maupun Jepang menyebutnya sebagai “Pemimpin Tua”, sebuah label yang di satu sisi menunjukkan pengakuan, tetapi juga digunakan untuk mengawasi gerak-geriknya. Pada April 1946, ia sempat ditangkap dan dipenjara oleh Belanda di Banjarmasin.
Meski begitu, penahanan tersebut justru mempertegas kedudukannya sebagai pejuang yang disegani, bukan hanya oleh kawan seperjuangan, tetapi juga oleh pihak penjajah yang menganggapnya ancaman serius. Tidak ada catatan signifikan mengenai kontroversi internal atau kritik dari sesama pejuang, yang menunjukkan reputasi positifnya dalam pergerakan nasional.
Akhir Hayat
Pada 20 April 1949 dini hari, Abdoel Moethalib Sangadji wafat di kediamannya di Jetis, Yogyakarta, akibat ditembak oleh gerombolan tidak dikenal. Kepergiannya menjadi kehilangan besar bagi bangsa Indonesia yang kala itu masih berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Warisan
Warisan terbesar Sangadji adalah semangat juangnya yang tak pernah padam. Ia dikenang sebagai tokoh Maluku yang memberi kontribusi penting dalam skala nasional, dari pendidikan, pergerakan politik, hingga perjuangan fisik. Nama dan jejak perjuangannya menegaskan bahwa Maluku memiliki peran sentral dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.