Mochtar Lubis adalah seorang jurnalis, sastrawan, dan tokoh kebudayaan Indonesia yang dikenal karena idealismenya terhadap kebenaran dan kebebasan berekspresi. Ia lahir di Padang, Hindia Belanda (kini Sumatera Barat) pada 7 Maret 1922, dan wafat di Jakarta pada 2 Juli 2004. Nama lengkapnya adalah Mochtar Lubis, tanpa tambahan gelar kebangsawanan, yang mencerminkan kesederhanaannya sebagai pribadi dan penulis.
Latar keluarganya berakar dari tradisi Minangkabau yang dikenal menjunjung tinggi pendidikan, kebebasan berpikir, dan nilai-nilai moral. Ayahnya merupakan seorang pegawai pemerintah, sementara ibunya dikenal memiliki pengaruh kuat dalam membentuk karakter disiplin dan kejujuran Mochtar sejak kecil. Lingkungan keluarga yang menekankan pentingnya ilmu pengetahuan dan integritas inilah yang kelak membentuk dirinya menjadi sosok intelektual kritis dan berani.
Pendidikan dan Pembentukan Karakter
Pendidikan dasar Mochtar Lubis dimulai di Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Sungai Penuh, Kerinci, yang ia selesaikan pada tahun 1936. Setelah itu, ia melanjutkan ke Sekolah Ekonomi Partikelir di Kayutanam, sebuah lembaga pendidikan yang didirikan oleh tokoh pergerakan nasional S.M. Latif. Di sinilah pandangan kebangsaannya mulai tumbuh.
Selain mempelajari ekonomi, Mochtar juga mendalami politik, sosial, serta bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman, yang kemudian memperluas wawasannya tentang dunia modern dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Pendidikan ini menjadi dasar intelektual bagi karya-karya jurnalistik dan sastranya yang tajam serta reflektif terhadap situasi sosial-politik Indonesia.
Awal Karier dan Kiprah Jurnalistik
Karier Mochtar Lubis dimulai pada masa pendudukan Jepang, ketika ia terlibat dalam bidang penerangan dan media. Ia kemudian turut mendirikan Kantor Berita ANTARA, yang menjadi cikal bakal salah satu lembaga berita nasional paling berpengaruh di Indonesia. Setelah kemerdekaan, ia dikenal luas sebagai pendiri dan pemimpin harian Indonesia Raya — sebuah surat kabar independen yang terkenal karena keberaniannya mengkritik kebijakan pemerintah, terutama pada era Presiden Soekarno.
Sikap idealis dan kritisnya membuat Indonesia Raya sering mendapat tekanan, bahkan larangan terbit. Namun, hal itu tidak memadamkan semangat Mochtar Lubis dalam memperjuangkan kebebasan pers dan tanggung jawab moral jurnalis terhadap rakyat.
Selain aktif di media massa, Mochtar juga ikut mendirikan majalah sastra Horison bersama para cendekiawan seperti Goenawan Mohamad, Arief Budiman, dan Taufiq Ismail. Majalah ini menjadi wadah penting bagi perkembangan sastra modern Indonesia.
Pemenjaraan dan Semangat Perlawanan
Konsistensi Mochtar dalam menyuarakan kebenaran membawanya pada masa-masa sulit. Ia dipenjara oleh pemerintahan Soekarno selama hampir sembilan tahun tanpa proses pengadilan, karena dianggap terlalu kritis terhadap kebijakan negara. Setelah bebas pada tahun 1966, Mochtar tetap tidak surut untuk menulis dan menyampaikan gagasan-gagasan tajamnya.
Pengalaman di balik jeruji besi itu ia tuangkan dalam karya reflektif berjudul Catatan Subversif (1980), yang menjadi saksi tentang kebebasan berpikir di tengah tekanan politik.
Kiprah Internasional dan Aktivitas Publik
Di luar dunia jurnalistik dan sastra, Mochtar Lubis aktif dalam berbagai organisasi internasional. Ia pernah menjabat sebagai Presiden Press Foundation of Asia, anggota Dewan Pimpinan International Association for Cultural Freedom, serta anggota World Futures Studies Federation.
Melalui peran-peran ini, Mochtar memperjuangkan posisi pers Asia agar setara dan berdaulat, serta memperluas jaringan intelektual antarnegara. Ia juga dikenal sebagai tokoh yang memperkenalkan Indonesia ke mata dunia lewat tulisan-tulisannya dalam bahasa Inggris.
Karya dan Prestasi
Sebagai seorang sastrawan produktif, Mochtar Lubis menghasilkan berbagai karya penting yang menjadi bagian dari khazanah sastra Indonesia. Di antara karya terkenalnya adalah:
- Jalan Tak Ada Ujung (1952) – pemenang Hadiah Sastra BMKN 1952, diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul A Road With No End (1968).
- Perempuan (1956) – meraih Hadiah Sastra Nasional BMKN 1955–1956.
- Harimau! Harimau! (1975) – meraih Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Maut dan Cinta (1977) – memenangkan Hadiah Sastra Yayasan Jaya Raya 1979.
- Senja di Jakarta (1970) – karya monumental yang menjadi novel Indonesia pertama diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (Twilight in Jakarta, 1963).
Selain itu, Mochtar menerima Anugerah Sastra Chairil Anwar (1992) atas dedikasinya terhadap dunia sastra Indonesia.
Karya nonfiksi dan jurnalistiknya pun beragam, antara lain Perlawatan ke Amerika Serikat (1951), Catatan Korea (1951), dan Indonesia di Mata Dunia (1955). Ia juga dikenal sebagai editor karya besar seperti Bunga Rampai Korupsi (bersama James C. Scott, 1984) dan Hati Nurani Melawan Kezaliman: Surat-Surat Bung Hatta kepada Presiden Soekarno (1986).
Yayasan Obor Indonesia dan Dedikasi Kebudayaan
Bersama sejumlah cendekiawan, Mochtar Lubis turut mendirikan Yayasan Obor Indonesia (YOI) — lembaga penerbitan dan kebudayaan yang berperan penting dalam pengembangan intelektual Indonesia. Melalui YOI, banyak karya sastra, filsafat, dan ilmu sosial diterbitkan untuk memperluas wawasan publik.
Pidato kebudayaannya pada 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, yang kemudian diterbitkan dalam buku Manusia Indonesia, menjadi salah satu refleksi sosial paling berani pada masanya. Dalam buku ini, Mochtar menyoroti sifat-sifat manusia Indonesia — termasuk sisi negatifnya — dengan harapan agar masyarakat dapat berbenah menuju bangsa yang lebih jujur dan tangguh.
Walaupun menuai pro dan kontra, pandangan tersebut justru memperlihatkan kepedulian mendalamnya terhadap karakter bangsa.
Gaya Menulis dan Pandangan Hidup
Mochtar Lubis dikenal dengan gaya menulis yang tegas, jujur, dan lugas, serta sering kali menyentuh tema moralitas, kemanusiaan, dan kepemimpinan. Ia percaya bahwa watak pemimpin merupakan sumber utama kegelisahan sosial, sebuah gagasan yang terus relevan hingga kini.
Sebagai penulis, ia berkomitmen terhadap prinsip “menulis dengan hati nurani” — menolak manipulasi kekuasaan dan mengedepankan tanggung jawab moral terhadap rakyat.
Kontroversi dan Kritik
Dalam perjalanan kariernya, Mochtar Lubis kerap bersinggungan dengan penguasa dan kalangan politik. Ia dikenal memiliki pandangan anti-Kiri yang kuat, dan beberapa kritikus menilai bahwa dirinya terlalu dekat dengan militer dan pro-Barat, terutama pada era Perang Dingin. Tuduhan itu dibantahnya dengan tegas.
Menurut Mochtar, sikapnya bukan karena afiliasi ideologis, melainkan karena komitmen terhadap kebebasan dan kemanusiaan, yang menurutnya sering terancam oleh ekstremisme politik, baik dari kiri maupun kanan.
Walaupun kritik terhadapnya tidak sedikit, sejarah menempatkan Mochtar Lubis sebagai salah satu pembela kebebasan pers paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia.
Warisan dan Pengaruh
Hingga kini, pemikiran Mochtar Lubis tetap hidup melalui karya-karyanya. Ia dikenang bukan hanya sebagai sastrawan besar, tetapi juga simbol keberanian intelektual. Melalui tulisan-tulisannya, ia menanamkan nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab sosial, dan integritas yang menjadi teladan bagi generasi penerus.
Karya-karyanya seperti Senja di Jakarta dan Harimau! Harimau! terus diajarkan di berbagai lembaga pendidikan dan menjadi bahan kajian sastra modern Indonesia. Sementara itu, Yayasan Obor Indonesia yang turut ia dirikan masih berperan aktif sebagai penerbit yang mengedepankan literasi dan kesadaran sosial.
Mochtar Lubis adalah sosok yang memadukan keberanian moral, kecerdasan intelektual, dan kepedulian sosial. Ia bukan hanya seorang wartawan dan sastrawan, tetapi juga pejuang nilai-nilai kebebasan dan kejujuran di tengah pergulatan bangsa. Melalui karya dan pengabdiannya, Mochtar Lubis meninggalkan warisan penting bagi dunia pers, sastra, dan moralitas publik di Indonesia — warisan yang akan terus relevan sepanjang zaman.