Profil Abdoel Rivai: Sang Perintis Pers Indonesia

Abdoel Rivai adalah sosok multitalenta—seorang dokter, wartawan, pemikir, dan politisi—yang kontribusinya melintasi banyak bidang. Dengan warisan ...

Abdoel Rivai (ejaan yang disempurnakan menjadi Abdul Rivai) lahir di Palembayan, Sumatera Barat, pada 13 Agustus 1871 dan wafat pada 16 Oktober 1937. Ia adalah putra dari pasangan Abdul Karim dan Siti Kemala Ria. Ayahnya bekerja sebagai guru di sekolah Melayu, yang membuat Rivai tumbuh dalam lingkungan keluarga yang menghargai ilmu pengetahuan. Didikan keluarganya, ditambah dengan kecerdasannya sejak kecil, membuat Rivai dikenal sebagai sosok yang keras, ulet, dan memiliki semangat belajar tinggi.

Pendidikan

Pada usia 15 tahun, Abdoel Rivai diterima masuk STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen), sekolah kedokteran elite bagi pribumi di Batavia. Ia menempuh pendidikan selama delapan tahun dan lulus pada tahun 1894. Setelah sempat bertugas sebagai dokter di Medan, pada September 1899 Rivai melanjutkan pendidikan ke Belanda, menjadikannya orang Hindia Belanda pertama yang bersekolah kedokteran di negeri tersebut.

Abdoel Rivai

Tidak berhenti sampai di situ, Rivai melanjutkan studi doktoralnya di Universitas Gent, Belgia, dan berhasil meraih gelar doktor melalui ujian terbuka pada 23 Juli 1908. Ia mencatatkan sejarah sebagai pribumi Indonesia pertama yang meraih gelar doktor di Eropa, sebuah pencapaian monumental yang menunjukkan kecemerlangannya di bidang akademik.

Prestasi dan Karya

Selain sebagai dokter, nama Abdoel Rivai lebih dikenal dalam dunia pers. Ia adalah pemrakarsa surat kabar berbahasa Melayu pertama yang terbit di luar negeri (Eropa), yakni Pewarta Wolanda (1900), yang ia terbitkan bersama Y. Strikwerda di Amsterdam. Langkah ini menjadikan Rivai sebagai pelopor pers Indonesia di kancah internasional.

Ia kemudian mendirikan dan memimpin beberapa surat kabar penting, di antaranya:

  1. Bendera Wolanda (1901)
  2. Bintang Hindia (1902), yang sempat menggebrak dunia pers Hindia Belanda
  3. Bintang Timoer, di mana ia menjadi redaktur dan koresponden

Berkat kontribusinya yang besar di bidang jurnalistik, pada tahun 1974 Pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Perintis Pers Indonesia kepada Abdoel Rivai.

Selain itu, Rivai juga menggagas studiefonds, sebuah lembaga donor yang membantu pelajar Indonesia menempuh pendidikan di Belanda. Kontribusi ini menunjukkan perhatiannya yang besar pada kemajuan pendidikan generasi muda.

Karier dan Aktivitas Publik

Abdoel Rivai tidak hanya aktif sebagai dokter dan wartawan, tetapi juga terjun dalam dunia pergerakan dan politik. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh pelopor kesadaran nasional, bahkan menginspirasi tokoh-tokoh lain seperti Radjiman Wedyoningrat dalam pembentukan Boedi Oetomo.

Pada tahun 1911, Rivai turut mendukung pembentukan Indische Partij (IP) di Sumatera, yang merupakan organisasi politik pertama di Hindia Belanda. Setelah IP dibubarkan oleh pemerintah kolonial pada 1913, Rivai tetap aktif bersama para mantan aktivisnya dalam organisasi Insulinde.

Puncak kiprahnya di bidang politik terjadi pada 1918, ketika ia diangkat menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) mewakili Insulinde. Dengan demikian, Rivai termasuk angkatan pertama pribumi yang menduduki kursi lembaga legislatif bentukan pemerintah kolonial.

Visi dan Kontribusi Positif

Visi besar Abdoel Rivai adalah memajukan kesadaran nasional melalui pendidikan dan pers. Ia percaya bahwa kebangkitan bangsa hanya bisa tercapai dengan membuka akses ilmu pengetahuan, mendorong kesadaran kritis, serta memperjuangkan kebebasan pers. Dalam banyak tulisannya, Rivai menekankan pentingnya perbaikan nasib bangsa pribumi melalui modernisasi, pendidikan, dan organisasi politik.

Kritik dan Kontroversi

Sebagai tokoh yang vokal, Abdoel Rivai tidak lepas dari kritik dan kontroversi. Pada awal abad ke-20, ia sempat terlibat perdebatan dengan A.A. Fokker, seorang pejabat Belanda, yang meremehkan kemampuan bahasa Melayu orang pribumi. Perdebatan ini memicu reaksi keras dari kalangan kolonial, karena dianggap tidak pantas seorang inlander menantang orang Belanda.

Selain itu, keaktifannya dalam dunia pers dan politik membuatnya beberapa kali dicurigai pemerintah kolonial sebagai penghasut. Surat kabarnya, Bintang Hindia, misalnya, sempat mendapat tekanan hingga akhirnya meredup pada 1910. Namun, semua ini justru memperkuat reputasinya sebagai sosok yang berani, cerdas, dan konsisten memperjuangkan kepentingan rakyat.

Penghargaan

  1. Perintis Pers Indonesia (1974, oleh Pemerintah Indonesia)
  2. Disebut sebagai “Bapak dalam golongan Jurnalistik” oleh surat kabar Pewarta Deli di Medan

Akhir Hayat

Setelah aktif dalam berbagai bidang—kedokteran, pers, pendidikan, dan politik—Abdoel Rivai mengakhiri perjalanannya pada 16 Oktober 1937 di Jakarta. Namanya dikenang sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah pergerakan nasional dan pers Indonesia.

Abdoel Rivai adalah sosok multitalenta—seorang dokter, wartawan, pemikir, dan politisi—yang kontribusinya melintasi banyak bidang. Ia bukan hanya pionir pendidikan dan pers, melainkan juga pelopor kesadaran nasional yang menginspirasi generasi penerus. Dengan warisan intelektual dan perjuangan yang ditinggalkannya, Rivai layak dikenang sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah bangsa Indonesia.

© Artikel Populer. All rights reserved.