Abdul Kahar Muzakkar lahir pada 24 Maret 1921 di Luwu, Sulawesi Selatan. Ia adalah seorang tokoh militer Indonesia yang kemudian dikenal sebagai pemimpin gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan. Kahar wafat pada 3 Februari 1965 dalam operasi militer yang dipimpin oleh TNI.
Latar Keluarga
Kahar berasal dari keluarga bangsawan di Luwu. Ayahnya, Malinrang, merupakan seorang tokoh terpandang. Meskipun lahir dari lingkungan feodal, Kahar dikenal memiliki sikap yang cenderung anti-feodalisme. Hal ini membuatnya berbeda dari sebagian kerabatnya, bahkan sempat menimbulkan ketegangan dalam keluarga besar.
Dalam kehidupannya, nilai-nilai kemandirian dan perlawanan terhadap ketidakadilan banyak dipengaruhi oleh pandangan pribadinya terhadap sistem sosial di sekitarnya.
Pendidikan
Perjalanan pendidikan Kahar dimulai di Standarschool Muhammadiyah, tempat ia lulus pada 1935. Ia kemudian melanjutkan studi ke Muallimin Solo, sebuah sekolah guru yang juga dikelola Muhammadiyah. Di sana, ia aktif dalam organisasi kepanduan Hizbul Wathan, yang membentuk kedisiplinan dan kepemimpinannya. Meski studinya sempat terhenti, ia tetap mengembangkan diri melalui pengalaman organisasi dan aktivitas sosial-politik.
Prestasi & Karya
Kahar tercatat aktif dalam sejumlah organisasi pemuda setelah Proklamasi 1945. Ia mendirikan Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi (GEPIS) yang kemudian menjadi Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi (APIS), bagian dari Angkatan Pemuda Indonesia (API). Ia juga ikut hadir dalam rapat raksasa Ikada di Jakarta pada 19 September 1945, membela Soekarno-Hatta dari kepungan tentara Jepang.
Selain itu, Kahar sempat mendirikan perusahaan dagang Usaha Semangat Muda dan Toko Luwu di Solo dan Jakarta, yang menjadi wadah pertemuan politik serta jejaring pergerakan pemuda.
Di bidang militer, ia pernah menjabat sebagai Komandan Persiapan TRI di Sulawesi dan menjadi figur penting dalam Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS).
Karier & Aktivitas Publik
Karier militernya terbilang menonjol pada masa Revolusi. Kahar dikenal sebagai pemimpin lapangan yang kharismatik dan dekat dengan anak buahnya. Namun, setelah terjadi perbedaan pandangan dan kekecewaan terhadap keputusan pemerintah pusat, terutama terkait pengakomodasian pasukan KGSS ke dalam TNI, Kahar mengambil langkah berbeda.
Pada awal 1950-an, ia memimpin Tentara Islam Indonesia (TII) di Sulawesi Selatan yang kemudian bergabung dengan gerakan Darul Islam pimpinan Kartosoewirjo di Jawa Barat. Pada 1953, secara resmi ia mengintegrasikan pasukannya ke dalam jaringan DI/TII. Dalam perjalanannya, Kahar juga memproklamirkan berdirinya Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII).
Gerakan yang dipimpinnya sempat melibatkan sekitar 15.000 pengikut dan menjadi salah satu gerakan separatis terbesar di luar Jawa pada dekade 1950-an.
Visi dan Kontribusi Positif
Meskipun identik dengan gerakan perlawanan, Kahar juga dikenal sebagai sosok yang berusaha memperjuangkan pengakuan terhadap daerah dan aspirasi masyarakat Bugis-Makassar. Ia menolak ketidakadilan yang dirasakan pasukan gerilyawan daerah, yang menurutnya kurang mendapat tempat dalam struktur militer Indonesia setelah kemerdekaan.
Dalam perspektif tertentu, perjuangan Kahar mencerminkan suara daerah terhadap dominasi pusat, serta semangat kemandirian yang ingin menegakkan identitas dan martabat masyarakat Sulawesi Selatan.
Kontroversi
Nama Abdul Kahar Muzakkar tidak lepas dari kontroversi. Ia dikenal sebagai pemberontak DI/TII di Sulawesi Selatan yang menentang pemerintahan Sukarno. Kritik yang diarahkan padanya berkaitan dengan pilihan politik dan strategi bersenjata yang menimbulkan konflik panjang.
Namun, sejumlah sejarawan menilai bahwa pemberontakan Kahar tidak hanya soal agama, melainkan juga lahir dari akumulasi kekecewaan politik, sosial, dan militer. Bagi sebagian masyarakat, ia tetap dianggap sebagai simbol resistensi terhadap ketidakadilan pusat, meski langkahnya berujung pada perpecahan.
Akhir Hayat
Pada 3 Februari 1965, Kahar Muzakkar dinyatakan tewas dalam Operasi Tumpas yang dipimpin oleh Jenderal M. Jusuf, dengan eksekusi oleh pasukan Divisi Siliwangi 330. Kabar kematiannya baru sampai ke Jakarta beberapa waktu kemudian karena lokasi kejadian yang sulit dijangkau. Jenazahnya dibawa ke Makassar untuk diperlihatkan kepada publik, namun hingga kini makamnya dirahasiakan, memunculkan beragam spekulasi di kalangan masyarakat.