Raden Mas Abdul Latief Hendraningrat lahir pada 15 Februari 1911 di Jakarta dari pasangan Raden Mas Mochammad Said Hendraningrat dan Raden Ajeng Haerani. Ayahnya merupakan seorang demang atau wedana di wilayah Jatinegara yang berdarah ningrat Jawa. Dari garis keturunan, Latief memiliki hubungan dengan tokoh-tokoh bangsawan Jawa, bahkan tercatat masih memiliki darah keturunan dari Ken Arok, Jaka Tingkir, dan Mangkunegara I.
Dalam kehidupan pribadi, Latief menikah dengan Raden Roro Sophia dan dikaruniai empat anak serta delapan cucu. Salah satu keturunannya adalah artis Gugun Gondrong (Muhammad Gunawan Hendromartono), cucunya melalui putri Tuning Sukobagyo. Kehidupan keluarganya yang berakar pada tradisi Jawa turut membentuk sikap disiplin, kepemimpinan, dan semangat pengabdian yang kelak menjadi ciri khasnya.
Pendidikan dan Awal Kiprah
Abdul Latief Hendraningrat menempuh pendidikan pada masa kolonial Belanda, meskipun catatan detail sekolahnya tidak banyak terdokumentasi. Ia kemudian aktif dalam Pusat Latihan Pemuda (Seinen Kunrenshoo) bentukan Jepang, yang menjadi wadah penting dalam pembentukan fisik dan mental para pemuda Indonesia. Dari sinilah Latief melanjutkan pengabdiannya dengan bergabung ke dalam Pasukan Pembela Tanah Air (PETA) pada tahun 1943.
Dalam PETA, karier militernya berkembang pesat hingga mencapai pangkat Sudanco (Chudancho/Komandan Kompi), satu tingkat di bawah pangkat tertinggi pribumi, yakni Daidanco. Pendidikan militer ini menjadi fondasi penting bagi kontribusinya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Peran dalam Proklamasi dan Peristiwa Rengasdengklok
Abdul Latief Hendraningrat tercatat dalam sejarah nasional sebagai salah satu tokoh penting dalam proses menuju Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Ia menjadi bagian dari golongan muda yang berperan aktif meyakinkan Soekarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan setelah Jepang menyerah kepada Sekutu.
Latief turut terlibat dalam Peristiwa Rengasdengklok (16 Agustus 1945), ketika para pemuda membawa Soekarno-Hatta ke markas PETA di Rengasdengklok untuk berunding mengenai waktu proklamasi. Saat itu, Latief dipercaya sebagai perwira PETA tertinggi di Jakarta yang bertanggung jawab atas keamanan.
Pada 17 Agustus 1945, Latief memimpin pengamanan kediaman Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56 agar upacara proklamasi dapat berlangsung tanpa gangguan dari tentara Jepang. Momen bersejarah itu menjadikan Latief, bersama Suhud Sastro Kusumo, sebagai pengerek pertama bendera Sang Saka Merah Putih dalam upacara proklamasi. Meski mengenakan seragam Jepang karena statusnya sebagai anggota PETA, tindakannya dikenang sebagai salah satu simbol penting kelahiran bangsa.
Karier Militer dan Diplomasi
Pasca proklamasi, Abdul Latief Hendraningrat terus berperan dalam berbagai pertempuran mempertahankan kemerdekaan. Ia menjabat sebagai Komandan Komando Kota Yogyakarta ketika Belanda melancarkan serangan pada tahun 1948. Hubungannya dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman sangat erat, dan Latief ikut serta dalam perumusan strategi gerilya serta Serangan Umum 1 Maret 1949.
Setelah pengakuan kedaulatan, kariernya berlanjut di Markas Besar Angkatan Darat. Ia kemudian dipercaya menjadi Atase Militer RI di Filipina (1952), lalu bertugas di Washington, Amerika Serikat, hingga 1956. Sekembalinya ke Tanah Air, Latief memimpin Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD/Seskoad).
Pada tahun 1964–1965, ia menjabat sebagai Rektor IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta). Jabatan ini menunjukkan kepercayaannya tidak hanya dalam bidang militer, tetapi juga pendidikan tinggi. Latief resmi pensiun dari dinas militer pada 30 September 1966 dengan pangkat Brigadir Jenderal.
Aktivitas Publik dan Kontribusi Sosial
Setelah pensiun, Abdul Latief Hendraningrat aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Ia mendedikasikan diri pada Yayasan Perguruan Rakyat dan Organisasi Indonesia Muda, fokus pada pengembangan pendidikan dan generasi muda. Visi Latief adalah melanjutkan perjuangan kemerdekaan melalui pembangunan sumber daya manusia Indonesia.
Prestasi dan Penghargaan
Peran Latief sebagai pengerek bendera pertama dalam upacara Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia merupakan pencapaian bersejarah yang melekat dalam identitas bangsa. Selain itu, jabatan strategis di militer, diplomasi, dan pendidikan menempatkannya sebagai tokoh multidimensi yang memberi kontribusi besar bagi republik. Namanya tercatat dalam berbagai literatur sejarah, dan ia dimakamkan dengan kehormatan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, pada 14 Maret 1983.
Kontroversi dan Kritik
Sebagai perwira PETA, Abdul Latief Hendraningrat sempat menghadapi kritik karena kedekatannya dengan organisasi bentukan Jepang. Namun, konteks sejarah menunjukkan bahwa keterlibatan para pemuda Indonesia dalam PETA justru menjadi bekal militer penting untuk perjuangan kemerdekaan. Latief sendiri membuktikan pengabdiannya dengan sikap tegas, keberanian, dan peran langsung dalam peristiwa proklamasi serta perjuangan mempertahankan kedaulatan. Kritik yang muncul pada masa itu lebih bersifat situasional dan tidak mengurangi pengakuan atas kontribusi positifnya.
Abdul Latief Hendraningrat dikenang sebagai seorang prajurit, diplomat, pendidik, dan pejuang kemerdekaan yang mengabdikan hidupnya bagi bangsa. Dari mengibarkan Sang Saka Merah Putih pertama kali, hingga membangun dunia pendidikan pasca-kemerdekaan, Latief meninggalkan warisan perjuangan yang tetap hidup dalam sejarah Indonesia.