Abdurrahman Baswedan, atau juga dikenal sebagai A.R. Baswedan, lahir di Ngampel, Surabaya, 9 September 1908 dan wafat pada 16 Maret 1986 di Jakarta. Ia merupakan seorang perintis kemerdekaan, wartawan, sastrawan, politisi, da’i, sekaligus tokoh yang menggagas berdirinya Persatuan Arab Indonesia (PAI). Pada 2018, pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya.
Latar Keluarga
A.R. Baswedan lahir dari pasangan Awad dan Alijah binti Abdoellah Djarhum. Ia memiliki tujuh saudara kandung. Meski berasal dari keluarga keturunan Arab, sejak dini A.R. Baswedan menanamkan pandangan bahwa tanah kelahirannya, Indonesia, adalah tanah airnya. Pandangan ini kelak menjadi pondasi perjuangannya menyatukan peranakan Arab dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Dalam perjalanan hidupnya, A.R. Baswedan menikah dua kali. Istri pertamanya, Sjaichun, meninggal pada 1948 di Surakarta. Ia kemudian menikah dengan Barkah Ganis, seorang tokoh pergerakan perempuan, pada 1950 di rumah KH Ahmad Dahlan, Yogyakarta. Dari pernikahan ini, ia dikaruniai 11 anak dan puluhan cucu, termasuk tokoh publik seperti Anies Baswedan dan Novel Baswedan.
Pendidikan
Sejak usia 5 tahun, A.R. Baswedan belajar di Madrasah Al-Khairiyah, Surabaya, kemudian melanjutkan ke Madrasah Al-Irsyad Jakarta di bawah pimpinan Syekh Ahmad Syurkati. Sepulangnya ke Surabaya, ia belajar di Hadramaut School, di mana ia mendalami bahasa dan sastra Arab.
Pada 1920, ia mengikuti kursus Nederlands Nerbond, tempat ia belajar membaca dan menulis huruf latin. Didikan ayahnya memperkaya penguasaan bahasanya, sehingga selain fasih berbahasa Arab, ia juga menguasai bahasa Indonesia, Belanda, dan Inggris. Kemampuan bahasa ini sangat mendukung kiprahnya sebagai wartawan dan diplomat.
Karier Jurnalistik
A.R. Baswedan mengawali karier sebagai jurnalis. Ia pernah menjadi redaktur di sejumlah surat kabar, antara lain:
- Harian Sin Tit Po, Surabaya (1932)
- Harian Soeara Oemoem, Surabaya (1933)
- Harian Matahari, Semarang (1934)
Ia juga mendirikan dan memimpin beberapa majalah seperti Sadar, Aliran Baroe, Nusaputra, hingga Hikmah. Tulisan-tulisannya konsisten menyerukan nasionalisme, persatuan, dan perjuangan kemerdekaan. Majalah Tempo bahkan mencatat tulisannya berjudul “Peranakan Arab dan Totoknya” (1934) sebagai salah satu catatan penting yang membentuk perjalanan bangsa Indonesia.
Peran Politik dan Aktivitas Publik
Perjalanan politik A.R. Baswedan bermula dari kepemimpinannya di Persatuan Arab Indonesia (PAI), sebuah organisasi politik yang mendorong integrasi penuh keturunan Arab dengan masyarakat Indonesia. PAI di bawah kepemimpinannya ikut bergabung dengan Gerakan Politik Indonesia (GAPI) dan Majelis Islam ala Indonesia (MIAI).
Pada masa pendudukan Jepang, A.R. Baswedan diangkat menjadi anggota Chuo Sangi In dan BPUPKI. Dalam sidang BPUPKI, ia dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah tanah airnya, serta mendorong keterlibatan keturunan Arab dalam perjuangan bangsa.
Setelah proklamasi, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan kemudian dipercaya sebagai Menteri Muda Penerangan dalam Kabinet Sjahrir III. Dalam kapasitasnya, ia ikut serta dalam misi diplomasi ke Timur Tengah bersama Haji Agus Salim dan kawan-kawan, yang berhasil membawa pengakuan de jure dan de facto pertama bagi Indonesia dari Mesir (1947).
Pada 1950-an, ia bergabung dengan Partai Masyumi dan aktif dalam dunia politik nasional. Selain itu, ia juga aktif berdakwah, memimpin Dewan Dakwah Islamiyah (DDI) Yogyakarta, serta menjadi tempat bernaung bagi banyak aktivis, seniman, dan mahasiswa di Yogyakarta.
Prestasi dan Penghargaan
Atas kontribusinya, A.R. Baswedan menerima berbagai penghargaan, di antaranya:
- Bintang Mahaputra Utama (1992).
- Bintang Mahaputra Adipradana (2013).
- Pahlawan Nasional Republik Indonesia (2018).
Ia juga diakui sebagai salah satu perintis pers nasional dan termasuk dalam daftar tokoh nation builder serta founding father Indonesia.
Visi dan Kontribusi
Visi utama A.R. Baswedan adalah menjadikan Indonesia sebagai tanah air bersama, tanpa membedakan etnis atau asal-usul. Melalui kiprah politik, jurnalistik, dan diplomatiknya, ia konsisten memperjuangkan persatuan bangsa, menghapus sekat-sekat sosial, serta memperkuat posisi Indonesia di dunia internasional.
Kontroversi
Seperti tokoh besar lainnya, A.R. Baswedan tidak lepas dari kritik. Pandangannya yang progresif mengenai integrasi peranakan Arab sempat menuai penolakan dari kalangan konservatif keturunan Arab. Selain itu, keterlibatannya di Partai Masyumi juga membuatnya berada dalam dinamika politik yang cukup keras, terutama saat partai itu dibubarkan pada 1960. Namun, sepanjang hidupnya ia tetap konsisten menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok.
Peninggalan
A.R. Baswedan meninggalkan warisan berupa perpustakaan pribadi dengan lebih dari 5.000 buku yang kini menjadi akses pengetahuan bagi masyarakat. Ia juga meninggalkan warisan pemikiran, karya tulis, dan teladan sikap sederhana—bahkan hingga akhir hayat, ia tidak memiliki rumah pribadi dan lebih mengutamakan perjuangan bangsa.
Abdurrahman Baswedan adalah contoh nyata tokoh bangsa yang visioner, berani, dan rendah hati. Perjuangan diplomatiknya membuka pintu pengakuan internasional bagi Indonesia, sementara gagasan persatuannya menyatukan keragaman dalam bingkai nasionalisme. Melalui karya, perjuangan, dan keteladanan hidupnya, A.R. Baswedan meninggalkan jejak abadi dalam sejarah Indonesia.