Abrar Yusra lahir pada 28 Maret 1943 di Lawang Matur, Agam, Sumatra Barat, dan meninggal dunia pada 28 Agustus 2015 di Bogor, Jawa Barat pada usia 72 tahun. Ia dikenal sebagai sosok serba bisa di dunia literasi Indonesia, dengan kiprah yang mencakup jurnalistik, puisi, novel, dan penulisan biografi tokoh-tokoh penting Indonesia.
Latar Keluarga dan Pendidikan
Informasi tentang keluarga Abrar Yusra menunjukkan bahwa ia berasal dari lingkungan Minangkabau yang kaya budaya. Meskipun detail mengenai orang tua dan pengaruh keluarga tidak banyak terdokumentasi, latar belakangnya di Sumatra Barat tampaknya membentuk ketertarikannya pada sastra dan pendidikan.
Abrar menempuh pendidikan di SGB dan SGA, serta sempat melanjutkan studi di IKIP Bukittinggi, meskipun tidak menyelesaikannya. Pendidikan formalnya ini kemudian membawanya pada karier di dunia pendidikan dan jurnalistik, sebelum menekuni literatur secara profesional.
Karier dan Aktivitas Publik
Abrar memulai kariernya sebagai guru di INS Kayutanam, Sumatra Barat, sebelum terjun ke dunia pers. Ia menjadi wartawan harian Haluan Padang dan kemudian menjabat sebagai redaktur pelaksana Harian Singgalang Padang (1985–1986). Perannya di media ini terus berkembang hingga menjadi managing editor Harian Singgalang selama 9 tahun, menunjukkan kepiawaiannya dalam memimpin redaksi.
Selain itu, Abrar juga aktif dalam organisasi seni dan budaya, termasuk sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta (1991–1993). Ia juga mendirikan Grup Studi Sastrawan Pekanbaru pada tahun 1968, sebuah inisiatif yang menandai komitmennya terhadap pengembangan literasi dan sastra di tingkat lokal maupun nasional.
Karya dan Prestasi
Abrar Yusra dikenal luas melalui karya-karya sastra dan biografinya. Ia menulis puisi, novel, cerita anak, dan biografi tokoh-tokoh Indonesia. Beberapa karya puisinya yang terkenal antara lain:
- Ke Rumah-Rumah Kekasih (1975).
- Siul (1975).
- Aku Menyusuri Sungai Waktu (1975).
Karya novelnya juga mendapat pengakuan internasional, terutama Tanah Ombak (2002), yang meraih Hadiah Sastra Mastera (Masyarakat Sastra Asia Tenggara) kategori Karya Kreatif di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 2003. Novel lain yang ditulisnya antara lain Negeri Tanpa Bedil (2001).
Abrar juga dikenal sebagai penulis biografi dan otobiografi tokoh-tokoh Indonesia, termasuk:
- Satiris dan Suara Kritis dari Daerah: Otobiografi A.A. Navis (1994).
- Komat-Kamit Selo Soemardjan: Biografi (1995).
- Hoegeng, Polisi Idaman dan Kenyataan: Sebuah Autobiografi (bersama Ramadhan K.H., 1995);
- Amir Hamzah 1911-1946: Sebagai Manusia dan Penyair (1996).
- Tokoh yang Berhati Rakyat: Biografi Harun Zain (1997).
- Catatan Seorang Pamong: Hasan Basri Durin Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatra Barat (sebagai editor bersama Hasril Chaniago, 1997).
- Azwar Anas: Teladan dari Ranah Minang (2011).
- Hari-Hari Terakhir bersama Gus Dur (sebagai penyusun, 2018).
Selain itu, ia menulis buku esai seperti Tantangan Sumatera Barat: Mengembalikan Keunggulan Pendidikan Berbasiskan Budaya Minangkabau (2001, editor bersama). Ia juga tercatat menulis buku sejarah: Dari Monopoli menuju Kompetisi: 50 Tahun Telekomunikasi Indonesia - Sejarah dan Kiat Manajemen Telkom (bersama Ramadhan K.H. dan Sugiarta Sriwibawa, 1994) dan Dari Pulau Buru ke Cipinang (sebagai editor, 2011).
Kontroversi dan Kritik
Abrar Yusra dikenal dengan karya-karya yang kritis dan reflektif, khususnya dalam penulisan biografi tokoh-tokoh publik. Meski demikian, ia tetap menjaga profesionalisme dan tidak tercatat terlibat dalam kontroversi besar. Kritik yang muncul biasanya terkait gaya penulisan atau interpretasi terhadap tokoh tertentu, namun tidak pernah memengaruhi reputasi positifnya sebagai sastrawan dan jurnalis.
Warisan dan Penghargaan
Sepanjang hidupnya, Abrar meninggalkan kontribusi besar bagi dunia sastra dan jurnalistik Indonesia. Ia juga dikenang sebagai sosok yang gigih mendokumentasikan sejarah dan kisah hidup tokoh-tokoh penting Indonesia. Selain karya-karyanya, ia meninggalkan keluarga yang terdiri dari tiga putra, satu putri, dan lima cucu. Jenazahnya dimakamkan di Lawang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat.
Abrar Yusra bukan hanya seorang wartawan atau penulis, tetapi juga pelopor pengembangan sastra lokal dan biografi Indonesia, dengan karya-karya yang tetap menjadi referensi penting hingga hari ini.