Profil Buya Hamka: Sang Pendidik Bangsa, Ulama, dan Sastrawan

Buya Hamka aktif di dunia jurnalistik sejak muda. Ia menulis di Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada 1928 ia ...

“Hamka bukan hanya milik bangsa Indonesia, tetapi kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara.”

Ucapan mantan Perdana Menteri Malaysia, Tun Abdul Razak, ini merangkum dengan tepat sosok Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau lebih dikenal dengan nama Buya Hamka. Beliau adalah ulama, sastrawan, intelektual, sekaligus tokoh masyarakat yang pengaruhnya melampaui batas Indonesia hingga Asia Tenggara.

Buya Hamka 1929

Identitas dan Latar Keluarga

Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, bergelar Datuak Indomo, lahir pada 17 Februari 1908 di Maninjau, Sumatera Barat, dan wafat pada 24 Juli 1981 di Jakarta. Ia dikenal dengan sapaan akrab Buya, sebuah panggilan kehormatan Minangkabau yang berarti ayah atau guru.

Ayahnya adalah Haji Abdul Karim bin Amrullah atau Haji Rasul, pendiri sekolah agama Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Sosok sang ayah yang keras dan disiplin sangat memengaruhi kehidupan Hamka. Dari garis keluarga, ia juga mendapat warisan tradisi keilmuan Islam dari kakeknya, Syeikh Muhammad Amrullah Tuanku Abdullah Saleh (Tuan Kisa’i). Sejak kecil, Hamka tumbuh dalam lingkungan religius, dengan semangat pembaruan Islam yang kuat.

Pendidikan dan Perjalanan Intelektual

Hamka menempuh pendidikan di Sekolah Desa Maninjau, lalu melanjutkan ke Sumatera Thawalib. Namun, semangat belajarnya membuat ia lebih banyak menempuh jalan otodidak melalui membaca, berdiskusi, dan merantau.

Pada usia 16 tahun, Hamka berangkat ke Jawa. Di sana ia berguru kepada tokoh-tokoh Islam dan nasionalis seperti H.O.S. Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, dan RM Suryopranoto. Ia juga memperdalam pemikiran keislaman di Mekkah, di mana ia sempat belajar bahasa Arab, sejarah Islam, dan sastra.

Meski tidak memiliki pendidikan formal tinggi, Hamka dikenal sebagai ulama berpengetahuan luas. Kemudian hari, ia mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Kairo (1958) dan Universitas Kebangsaan Malaysia (1974). Universitas Moestopo bahkan mengangkatnya sebagai guru besar.

Karier dan Aktivitas Publik

Hamka aktif di dunia jurnalistik sejak muda. Ia menulis di Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada 1928 ia menjadi editor Kemajuan Masyarakat, lalu mendirikan majalah Al-Mahdi di Makassar (1936). Ia juga memimpin majalah Pedoman Masyarakat, Pandji Masyarakat, dan Gema Islam, yang berpengaruh besar dalam dunia pemikiran Islam dan nasionalisme.

Dalam organisasi, Hamka aktif di Muhammadiyah sejak 1925. Ia memimpin Muhammadiyah Sumatera Barat (1946) dan menjadi penasihat Pimpinan Pusat (1953). Pada 1977, Hamka dilantik sebagai Ketua Umum pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Di bidang politik, Hamka pernah bergabung dengan Sarekat Islam (1925), lalu aktif di Masyumi, menjadi juru kampanye utama pada Pemilu 1955, dan terpilih sebagai anggota Konstituante. Sikapnya yang tegas menentang Demokrasi Terpimpin membuatnya bersitegang dengan Presiden Soekarno.

Prestasi dan Karya

Hamka dikenal sebagai sastrawan besar Indonesia. Beberapa karya terkenalnya antara lain:

  1. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
  2. Di Bawah Lindungan Ka’bah
  3. Merantau ke Deli
  4. Tafsir Al-Azhar (karya monumental yang ditulis selama dalam tahanan)

Selain novel, Hamka juga menulis buku-buku pemikiran Islam, filsafat, sejarah, dan tasawuf yang hingga kini masih menjadi rujukan.

Atas dedikasinya, nama Hamka diabadikan menjadi Universitas Hamka (UHAMKA) milik Muhammadiyah. Pada 2011, ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia.

Visi dan Kontribusi

Hamka memiliki visi Islam yang modern, terbuka, namun tetap berpegang teguh pada ajaran Al-Qur’an dan sunnah. Ia berusaha menjembatani umat Islam Indonesia dengan pemikiran global, sekaligus mengangkat martabat bangsa melalui pendidikan, dakwah, dan karya sastra.

Kontribusinya sangat luas: dari pemberdayaan masyarakat lewat Muhammadiyah, pengembangan literatur Islam, dakwah melalui media massa, hingga peranannya sebagai ulama panutan di Asia Tenggara.

Kontroversi

Seperti banyak tokoh besar, Hamka juga menghadapi kontroversi.

  1. Dengan Soekarno, ia berbeda pandangan mengenai Demokrasi Terpimpin, sehingga ditahan tanpa pengadilan pada 1964–1966. Namun, hubungan pribadi mereka tetap baik. Bahkan Hamka yang memimpin salat jenazah Soekarno pada 1970.
  2. Pada 1981, menjelang akhir hayatnya, Hamka mundur dari jabatan Ketua MUI setelah menolak menarik fatwa larangan “Natal Bersama” bagi umat Muslim, yang sempat mendapat tekanan politik.

Meskipun demikian, Hamka tetap dikenang sebagai sosok berintegritas, yang teguh mempertahankan prinsip tanpa kehilangan sikap santun dan bijaksana.

Buya Hamka adalah teladan seorang ulama, sastrawan, dan pemimpin bangsa yang menyalurkan ilmunya demi kebaikan umat. Ia membuktikan bahwa ilmu, karya, dan integritas bisa melampaui zaman. Hingga kini, Hamka tidak hanya menjadi milik Indonesia, tetapi juga kebanggaan dunia Islam dan Asia Tenggara.

© Artikel Populer. All rights reserved.