KH. Abdul Wahab Chasbullah, yang juga dikenal dengan nama lengkap Kiai Haji Abdul Wahab Chasbullah, lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 31 Maret 1888. Ia wafat pada 29 Desember 1971 dan dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang.
Beliau berasal dari keluarga pesantren yang berpengaruh. Ayahnya adalah KH. Hasbullah Said, pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas Jombang, sementara ibunya bernama Nyai Latifah. Latar keluarga religius ini sangat memengaruhi perjalanan hidup Abdul Wahab, terutama dalam menekuni dunia pendidikan Islam dan perjuangan kebangsaan.
Pendidikan
Sejak kecil, Abdul Wahab menempuh pendidikan agama di berbagai pondok pesantren. Ia belajar di Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Mojosari Nganjuk, Pesantren Tawangsari Sepanjang, dan Pesantren Tebuireng Jombang di bawah asuhan KH. Hasyim Asy’ari.
Ia juga berguru kepada ulama besar Nusantara, di antaranya Syekh Kholil Bangkalan. Perjalanan intelektualnya berlanjut hingga ke Mekkah, di mana ia menimba ilmu dari ulama internasional seperti Syekh Mahfudz at-Tarmasi dan Syekh Said al-Yamani. Pendidikan yang luas ini membentuknya sebagai ulama dengan wawasan mendalam, baik dalam ilmu agama maupun pemikiran kebangsaan.
Karier, Aktivitas Publik, dan Peran Kebangsaan
KH. Abdul Wahab Chasbullah dikenal sebagai tokoh ulama, pejuang kemerdekaan, sekaligus organisatoris. Pada tahun 1914, ia mendirikan Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran), sebuah forum diskusi progresif yang mempertemukan banyak tokoh nasional. Forum ini menjadi ruang bertukar gagasan antara ulama, intelektual, dan pemuda, serta menjadi ajang pengkaderan penting dalam sejarah pergerakan Islam di Indonesia.
Pada tahun 1916, ia bersama KH. Mas Mansur mendirikan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air), organisasi pemuda Islam yang fokus pada pendidikan, dakwah, dan pembinaan kader. Dari organisasi ini, lahir semangat kebangkitan pemuda yang kemudian berkembang menjadi Syubbanul Wathan, cikal bakal organisasi Gerakan Pemuda Ansor.
Puncak peran kebangsaan Abdul Wahab terlihat pada tahun 1926, ketika ia bersama KH. Hasyim Asy’ari dan ulama lainnya mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Di NU, ia merumuskan struktur kepemimpinan dengan membentuk Syuriyah (dewan ulama) dan Tanfidziyah (dewan pelaksana), yang hingga kini menjadi sistem khas organisasi NU.
Selain itu, ia pernah menjabat sebagai Rais Aam PBNU menggantikan KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1947. Ia juga terlibat aktif dalam Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan tercatat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) bersama tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, KH. Wahab turut menggerakkan fatwa “wajib membela tanah air” pada 17 Agustus 1945, yang menjadi motivasi besar bagi umat Islam untuk mempertahankan Indonesia dari penjajahan. Ia juga dikenal pernah memimpin Laskar Hizbullah, sebuah barisan santri pejuang kemerdekaan.
Prestasi dan Karya
Salah satu warisan monumental KH. Wahab Chasbullah adalah lagu perjuangan “Syubbanul Wathan” atau dikenal dengan “Yaa Lal Wathan”. Lagu ini menjadi simbol nasionalisme warga NU dan masih sering dilantunkan hingga kini.
Di bidang pendidikan, ia mendirikan berbagai madrasah, di antaranya Madrasah Ahlul Wathan di Wonokromo, Madrasah Faraul Wathan di Gresik, Madrasah Hisayatul Wathan di Jombang, dan Madrasah Khitabul Wathan di Surabaya. Lembaga-lembaga pendidikan ini memperlihatkan konsistensinya dalam mencetak generasi penerus bangsa.
Atas jasa-jasanya, KH. Abdul Wahab Chasbullah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Visi dan Kontribusi Positif
Visi besar Abdul Wahab adalah memadukan semangat kebangsaan dengan ajaran Islam yang moderat. Ia menekankan pentingnya kebebasan berpikir dan kebebasan berpendapat dalam bingkai nilai-nilai keislaman. Menurutnya, kebebasan ini bukan ancaman bagi keimanan, tetapi justru jalan untuk menemukan solusi atas persoalan sosial dan kebangsaan.
Kontribusinya dalam membangun organisasi, pendidikan, dan kebangsaan menjadikannya sosok ulama yang dihormati lintas generasi.
Kontroversi dan Kritik
Sebagai tokoh besar, KH. Wahab juga pernah menghadapi kritik. Perbedaan pandangan antara kaum modernis dan tradisionalis pada awal abad ke-20 kerap menyeret namanya dalam perdebatan. Organisasi yang ia dirikan, seperti Nahdlatul Wathan, juga sempat mengalami perpecahan akibat perbedaan haluan pemikiran.
Namun, perbedaan itu justru memperkuat tekadnya untuk mendirikan wadah bersama dalam bentuk NU, yang kemudian terbukti mampu menyatukan banyak kalangan ulama. Kritik terhadap pandangannya lebih banyak dipandang sebagai dinamika intelektual pada masa pergerakan, bukan sebagai cacat sejarah.
Kehidupan Pribadi dan Wafat
Selain dikenal sebagai ulama pejuang, KH. Abdul Wahab Chasbullah juga sosok yang dekat dengan masyarakat. Ia kerap menyampaikan fatwa dengan cara sederhana, luwes, dan mudah dipahami.
Kiai Wahab wafat pada 29 Desember 1971. Hingga kini, makamnya di Tambakberas Jombang menjadi salah satu tujuan ziarah penting di Jawa Timur. Pemerintah Kabupaten Jombang terus merawat area makam agar tetap layak dikunjungi masyarakat luas.
Representasi dalam Budaya Populer
Sosoknya diabadikan dalam film “Sang Kiai” (2013), di mana ia diperankan oleh aktor Arswendi Nasution. Hal ini menegaskan betapa perannya diakui dalam sejarah bangsa.