Dalam beberapa tahun terakhir, kebiasaan membaca di kalangan generasi muda, khususnya Gen Z, telah menjadi topik yang cukup kontroversial. Gen Z, kelompok yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, dikenal sebagai generasi digital native yang akrab dengan berbagai platform media sosial. Kehadiran TikTok, Instagram, dan YouTube telah mengubah cara mereka mengakses informasi, hiburan, dan literasi. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah kemajuan teknologi mendorong minat baca atau justru menggeser perhatian dari buku fisik yang tradisional?
Tren Membaca di Era Digital
Secara global, penelitian menunjukkan bahwa Gen Z menghabiskan sebagian besar waktunya di perangkat digital. Aktivitas scrolling feed, menonton video singkat, hingga mengikuti tren meme menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari. TikTok, misalnya, telah menjadi platform yang tidak hanya menyajikan hiburan, tetapi juga sarana literasi digital. Fenomena seperti #BookTok menunjukkan adanya komunitas pembaca yang aktif, di mana pengguna berbagi rekomendasi buku, ulasan, hingga kutipan menarik dari karya sastra. Platform ini berhasil membuat buku kembali relevan di mata Gen Z, meskipun format yang disajikan seringkali berupa rangkuman atau highlight singkat, bukan membaca penuh karya literer.
Namun, di sisi lain, kemudahan akses informasi ini juga menimbulkan risiko. Konsumsi konten cepat dan singkat, seperti video berdurasi 30–60 detik, cenderung membentuk pola membaca yang instan dan fragmentaris. Gen Z terbiasa memperoleh informasi dalam potongan kecil, sehingga kemampuan membaca mendalam, kritis, dan analisis panjang menjadi tantangan tersendiri. Hal ini berbeda secara signifikan dengan generasi sebelumnya, yang lebih banyak mengandalkan buku fisik dan membaca tuntas untuk memperoleh pemahaman mendalam.
Buku Fisik vs. Buku Digital
Kebiasaan membaca Gen Z tidak bisa dilepaskan dari persaingan antara buku fisik dan buku digital. E-book dan audiobook menawarkan kenyamanan dan fleksibilitas, memungkinkan bacaan diakses kapan saja, di mana saja, dan tanpa batasan ruang. Gen Z, yang selalu terhubung dengan ponsel pintar, tentu memandang e-book sebagai solusi praktis. Sementara itu, buku fisik tetap mempertahankan nilai sentimental dan pengalaman sensorik yang unik: aroma kertas, tekstur halaman, hingga kepuasan menandai halaman atau menulis catatan di margin. Banyak penelitian menunjukkan bahwa membaca buku fisik lebih efektif dalam meningkatkan daya ingat dan pemahaman teks dibandingkan membaca di layar.
Dalam konteks ini, muncul pertanyaan tentang keseimbangan antara kenyamanan digital dan kedalaman membaca tradisional. Meski TikTok mempopulerkan buku, rekomendasi singkat dan “tren” tertentu sering kali mendorong pembaca untuk mengonsumsi konten buku secara superfisial. Gen Z mungkin terdorong membeli buku fisik, namun tidak semua buku dibaca hingga tuntas. Fenomena ini mencerminkan perubahan budaya membaca: bukan sekadar menghilang, tetapi bertransformasi.
Motivasi Membaca Gen Z
Faktor psikologis dan sosial turut memengaruhi kebiasaan membaca di kalangan Gen Z. Salah satu motivasi utama adalah dorongan untuk menjadi bagian dari komunitas. BookTok dan Instagram Bookstagram menciptakan “kebutuhan sosial” bagi Gen Z untuk mengikuti tren literasi populer. Buku yang sedang viral di media sosial sering kali menjadi topik pembicaraan, sehingga membaca tidak hanya soal literasi, tetapi juga soal eksistensi sosial. Dalam hal ini, membaca menjadi alat interaksi sosial, bukan semata-mata pencarian ilmu atau hiburan.
Selain motivasi sosial, Gen Z juga mencari pengalaman emosional dari membaca. Cerita fiksi, terutama novel young adult, memiliki daya tarik kuat karena mampu menghadirkan identifikasi karakter dan konflik yang dekat dengan pengalaman hidup mereka. Buku-buku yang menawarkan pengalaman imajinatif dan emosional sering menjadi pilihan utama, sementara buku non-fiksi yang membutuhkan konsentrasi panjang cenderung lebih jarang dibaca. Dengan kata lain, preferensi membaca Gen Z sangat dipengaruhi oleh faktor hiburan, emosional, dan sosial.
Dampak Positif Platform Digital
Meski ada kekhawatiran tentang membaca superfisial, platform digital juga membawa dampak positif bagi literasi Gen Z. Video singkat yang membahas buku, review kreatif, hingga tips membaca cepat mempermudah akses informasi literasi bagi mereka yang sebelumnya jarang membaca. Buku yang direkomendasikan oleh kreator populer dapat meningkatkan penjualan dan minat baca. Di sisi lain, platform digital juga mendorong keterampilan kritis baru, seperti kemampuan memilih informasi relevan, mengevaluasi sumber, dan membedakan fakta dari opini.
Selain itu, media sosial memberikan ruang bagi penulis muda untuk mengekspresikan karya mereka tanpa melalui jalur penerbitan tradisional. Hal ini membuat literasi lebih inklusif, demokratis, dan relevan dengan konteks generasi muda. Gen Z tidak hanya sebagai konsumen, tetapi juga sebagai produsen konten literasi. Platform seperti Wattpad dan Webnovel, yang populer di kalangan Gen Z, memperkuat tren ini.
Tantangan Literasi Gen Z
Meskipun ada dampak positif, tantangan literasi Gen Z tetap signifikan. Konsumsi konten digital yang cepat dan fragmentaris dapat menurunkan kemampuan membaca kritis dan memahami teks panjang. Penelitian menunjukkan bahwa Gen Z memiliki rentang perhatian yang lebih pendek dibandingkan generasi sebelumnya, yang bisa memengaruhi kualitas pemahaman buku dan analisis informasi. Terlebih lagi, algoritma media sosial cenderung menampilkan konten yang sesuai preferensi pengguna, sehingga potensi pembaca untuk mengeksplorasi genre dan topik baru menjadi terbatas.
Selain itu, tren membaca berbasis visual seperti infografik, video ringkasan, atau reels TikTok sering kali menggantikan membaca mendalam. Akibatnya, kemampuan menganalisis, menghubungkan ide, dan berpikir reflektif dapat menurun. Ini menjadi tantangan bagi pendidikan formal, perpustakaan, dan orang tua yang ingin menumbuhkan budaya literasi yang lebih solid di kalangan Gen Z.
Strategi Mendorong Minat Baca
Untuk menghadapi tantangan ini, diperlukan strategi literasi yang relevan dengan karakter digital Gen Z. Pertama, integrasi media sosial dengan literasi formal bisa menjadi solusi. Sekolah dan perpustakaan dapat memanfaatkan platform seperti TikTok atau Instagram untuk membuat konten literasi yang menarik, sekaligus mengajarkan keterampilan membaca kritis. Misalnya, video yang membahas analisis karakter atau makna tematik buku bisa menjadi pengantar sebelum membaca buku secara penuh.
Kedua, program “read-along” atau tantangan membaca berbasis komunitas dapat meningkatkan interaksi sosial sekaligus memupuk kebiasaan membaca. Gen Z cenderung termotivasi oleh elemen sosial dan gamifikasi, sehingga metode ini efektif. Selain itu, pelibatan penulis muda atau kreator populer sebagai mentor literasi digital dapat meningkatkan daya tarik membaca di platform online.
Ketiga, perlu ada keseimbangan antara buku digital dan buku fisik. Membaca buku fisik tetap penting untuk membangun kemampuan literasi mendalam. Kampanye literasi yang menekankan pengalaman sensorik membaca, seperti acara book fair, diskusi buku, atau klub buku, dapat menguatkan hubungan emosional dengan buku fisik. Kombinasi ini membantu Gen Z menikmati kemudahan akses digital sekaligus memperoleh manfaat literasi tradisional.
Peran Orang Tua dan Pendidikan
Orang tua dan sistem pendidikan memiliki peran sentral dalam membentuk kebiasaan membaca Gen Z. Pendidikan literasi tidak boleh hanya mengajarkan kemampuan teknis membaca, tetapi juga menanamkan rasa ingin tahu, kritis, dan kesadaran terhadap kualitas informasi. Orang tua dapat memanfaatkan waktu membaca bersama anak, memperkenalkan buku fisik dengan tema yang sesuai minat, dan membatasi konsumsi konten digital yang tidak produktif.
Di sekolah, pendekatan literasi perlu disesuaikan dengan karakter Gen Z yang digital-savvy. Materi pembelajaran dapat dikombinasikan dengan media interaktif, diskusi online, dan kegiatan membaca kreatif yang relevan dengan pengalaman sehari-hari siswa. Dengan demikian, literasi tidak hanya menjadi kewajiban akademik, tetapi juga pengalaman menyenangkan yang membentuk kebiasaan positif.
Kebiasaan membaca di kalangan Gen Z berada di persimpangan antara dunia digital dan tradisi literasi. Platform seperti TikTok berhasil membangkitkan minat baca melalui tren, rekomendasi, dan interaksi sosial, namun juga menimbulkan tantangan berupa membaca superfisial dan rentang perhatian pendek. Buku fisik tetap memiliki peran penting dalam membangun pemahaman mendalam, kemampuan analisis, dan pengalaman emosional yang kaya.
Untuk memaksimalkan literasi Gen Z, diperlukan strategi yang seimbang antara inovasi digital dan metode tradisional. Integrasi platform media sosial, gamifikasi membaca, program komunitas, serta pendidikan literasi yang kreatif dan adaptif dapat mendorong Gen Z tidak hanya menjadi konsumen informasi cepat, tetapi juga pembaca yang kritis, reflektif, dan berpengetahuan luas. Pada akhirnya, literasi bukan sekadar kebiasaan membaca, tetapi kemampuan berpikir, memahami, dan berinteraksi dengan dunia secara mendalam, yang tetap relevan meski zaman terus berubah.