Anwar Putra Bayu merupakan salah satu sastrawan penting Indonesia yang dikenal karena konsistensinya dalam berkarya dan dedikasinya terhadap pengembangan dunia seni dan kebudayaan, khususnya di Sumatera Selatan. Ia dikenal tidak hanya sebagai penyair dan penulis drama, tetapi juga sebagai tokoh teater, jurnalis, dan aktivis sosial yang menaruh perhatian besar pada kebebasan berekspresi serta peran kebudayaan dalam memperkuat masyarakat sipil.
Identitas dan Latar Keluarga
Anwar Putra Bayu lahir di Medan, Sumatera Utara, pada 14 Juni 1960 dari pasangan Drs. Bahauddin dan Siti Amnah. Ayahnya merupakan seorang pensiunan Bank Exim Jakarta (kini Bank Mandiri), sementara ibunya meninggal dunia ketika Anwar masih berusia dua tahun. Sejak kecil, Anwar tumbuh dalam lingkungan keluarga yang menanamkan nilai kemandirian, kerja keras, dan pentingnya pendidikan, meskipun pada akhirnya ia memilih jalannya sendiri sebagai seniman.
Keluarga besarnya awalnya mengharapkan Anwar untuk melanjutkan pendidikan formal di bidang sosial atau hukum, namun dorongan batin dan kecintaan terhadap dunia seni membuatnya mengambil keputusan berbeda. Sikap teguh pada prinsip ini kemudian menjadi salah satu ciri khas yang menonjol dalam kepribadiannya: berani memilih jalan hidup sendiri, meskipun harus menanggung konsekuensi yang tidak mudah.
Pendidikan dan Awal Ketertarikan pada Dunia Seni
Pendidikan dasar dan menengah pertama ditempuh Anwar di Jakarta. Ia kemudian melanjutkan sekolah menengah atas di dua kota: Medan dan Palembang. Di Medan, ia sempat bersekolah di SMA Negeri 6 Medan, jurusan Bahasa, sebelum pindah ke Palembang pada 1979 dan menyelesaikan pendidikannya di sana.
Sejak masa SMA, Anwar telah aktif di dunia teater dan tergabung dalam Teater Propesi Medan, asuhan seniman AS. Atmadi. Dari sinilah ketertarikannya terhadap dunia seni semakin berkembang, terutama dalam bidang penulisan naskah dan penyutradaraan.
Setelah lulus SMA, Anwar sempat berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan ke Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Namun, perbedaan pandangan dengan keluarganya membuatnya memutuskan untuk tidak melanjutkan studi formal. Keputusan tersebut tidak membuatnya berhenti belajar—justru menjadi awal dari perjalanannya menempuh “pendidikan kehidupan” melalui dunia seni, teater, dan literasi.
Perjalanan Karier dan Aktivitas Seni
Anwar Putra Bayu mulai aktif berkesenian secara profesional pada awal 1980-an. Pada tahun 1980, bersama Wahid Chantoro, ia mendirikan Teater SAS di Kertapati, Palembang, yang sebagian besar anggotanya adalah remaja putus sekolah dan kalangan marjinal. Upayanya menunjukkan tekad kuat untuk menjadikan seni sebagai sarana pemberdayaan sosial. Empat tahun kemudian, pada 1984, ia mendirikan Teater Potlot, yang kemudian menjadi wadah penting bagi aktivitas teater di Sumatera Selatan.
Sebagai sutradara, Anwar telah memimpin berbagai pementasan, di antaranya:
- Dokter Gadungan karya Molière (1983)
 - Jaka Tarub karya Akhudiat (1988)
 - Raden Fatah karya Robin Surawijaya (1988)
 - Lysistrata karya Aristophanes (1990 dan 1993)
 
Selain itu, ia juga menulis dan mementaskan naskah-naskah orisinalnya sendiri, seperti “Wong-wong”, “Patung di Taman”, dan “Kursi.” Naskah Wong-wong bahkan meraih Penghargaan Naskah Drama Terbaik se-Sumatera Selatan dalam Festival Teater BKTSS 1987 di Lubuklinggau.
Produktivitas sebagai Penulis dan Sastrawan
Sebagai penulis, Anwar Putra Bayu termasuk sosok yang sangat produktif. Ia menulis puisi, cerpen, naskah drama, dan esai budaya yang tersebar di berbagai media nasional serta lebih dari 60 antologi bersama. Gaya puisinya dikenal kuat, reflektif, dan seringkali merefleksikan pergulatan antara spiritualitas, sosial, dan eksistensi manusia.
Beberapa buku puisi tunggalnya antara lain:
- Catatan Bagi Orang-Orang Berzirah (1994, Yayasan Izma)
 - Pada Akhirnya (2007, Hilayat Publishing)
 - Ritus Pisau (2014, Sastra Digital)
 
Karya-karyanya juga masuk dalam berbagai antologi nasional dan regional, seperti 45 Penyair Indonesia dari Negeri Poci 2 (1996), Maha Duka Aceh (2005), Poetry and Sincerity (2006), Medan Makna (2007), dan Akulah Musi (2011).
Aktivisme dan Kiprah di Bidang Sosial-Budaya
Di luar dunia sastra, Anwar Putra Bayu dikenal sebagai aktivis sosial dan kebudayaan. Ia ikut mendirikan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Palembang yang berfokus pada penguatan masyarakat sipil, seperti:
- Forum Studi Kebudayaan Kali Musi (1990)
 - Forum Studi Kebudayaan Orde (1991–1995)
 - Yayasan Kuala Merdeka (1995)
 - Yayasan Pustaka Indonesia (2000)
 
Selain itu, ia pernah menjabat sebagai Ketua Presidium Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPPDA) Sumatera Selatan pada tahun 1999, serta aktif di Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Selatan pada 1990-an.
Keterlibatannya dalam berbagai organisasi ini menunjukkan bahwa Anwar tidak memandang seni hanya sebagai ekspresi estetika, tetapi juga sebagai alat perubahan sosial. Ia percaya bahwa kebudayaan dan demokrasi saling menopang dalam membangun kesadaran publik.
Karier di Dunia Jurnalistik dan Akademik
Selain di dunia teater dan sastra, Anwar juga menapaki karier di bidang jurnalistik dan pendidikan. Ia pernah menjadi:
- Redaktur budaya Tabloid Media Guru (1989–1991)
 - Pemimpin Redaksi Majalah Kebudayaan Dinamika (1990)
 - Redaktur Majalah Veto (2001)
 - Staf Redaksi Majalah Budaya ATL (1999)
 - Pemimpin Redaksi Jurnal Hukum LBH Palembang (2005)
 
Pada 2009–2010, Anwar Putra Bayu juga dipercaya menjadi Dosen Luar Biasa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Bina Darma Palembang.
Penghargaan dan Pengakuan
Atas kiprahnya yang panjang di bidang seni dan budaya, Anwar Putra Bayu menerima berbagai bentuk apresiasi, di antaranya:
- Penghargaan Seni Bidang Sastra dari Gubernur Sumatera Selatan (2002)
 - Penghargaan Naskah Drama Terbaik pada Festival Teater Sumatera Selatan (1986)
 - Namanya juga tercatat dalam sejumlah buku dan ensiklopedia sastra, seperti:
 - Direktori Penulis di Indonesia (Depdikbud, 1997)
 - Leksikon Sastra Indonesia (Balai Pustaka, 2000)
 - Buku Pintar Sastra Indonesia (Kompas, 2001)
 - Ensiklopedia Sastra Indonesia (Angkasa, 2006)
 
Gaya dan Visi Berkarya
Anwar Putra Bayu dikenal memiliki gaya penulisan yang reflektif dan kontekstual, menyoroti nilai-nilai spiritualitas, kemanusiaan, dan kritik sosial dengan bahasa yang kaya imaji. Dalam puisinya, ia sering mengolah simbol-simbol religius dan budaya Melayu menjadi ekspresi estetika yang sarat makna.
Baginya, seni adalah jalan pengabdian dan perlawanan halus terhadap kemapanan, bukan sekadar hiburan. Melalui teater dan sastra, ia berupaya membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya berpikir kritis, adil, dan terbuka terhadap perubahan.
Kontroversi dan Sikap Kritis
Sebagai intelektual yang berpikiran bebas, Anwar Putra Bayu juga tidak lepas dari kritik. Beberapa kalangan konservatif pernah menganggap gagasan-gagasannya tentang kebudayaan terlalu liberal atau melawan arus. Namun, Anwar menanggapinya dengan tenang, menegaskan bahwa seni dan pemikiran harus “mengguncang kesadaran”, bukan meninabobokkan masyarakat.
Sikapnya yang kritis terhadap kekuasaan dan lembaga formal pada masa Orde Baru juga sempat menimbulkan jarak dengan pihak tertentu. Namun, hal itu justru memperkuat reputasinya sebagai seniman yang independen, berintegritas, dan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan.
Kehidupan Pribadi dan Dedikasi
Meskipun menolak kenyamanan hidup birokratis, Anwar Putra Bayu dikenal sederhana dan teguh pada prinsip. Ia lebih memilih membeli buku daripada memperindah diri, lebih mementingkan ide daripada posisi. Bahkan ketika sakit akibat bekerja keras, ia tetap menolak berhenti membaca atau menulis.
Sikap hidupnya mencerminkan sosok seniman sejati: berjuang dalam sunyi, berbuat tanpa pamrih, dan mencintai ilmu sepanjang hayat.
Anwar Putra Bayu merupakan sosok langka dalam dunia sastra Indonesia—seorang sastrawan, aktivis, dan pendidik yang memadukan kreativitas dan kesadaran sosial dalam setiap langkahnya. Dari Medan hingga Palembang, dari panggung teater hingga lembar puisi, ia membuktikan bahwa seni bukan hanya ruang ekspresi, tetapi juga sarana perubahan dan pencerahan.
Dengan dedikasi dan integritasnya yang konsisten selama lebih dari empat dekade, Anwar Putra Bayu layak dikenang sebagai salah satu pilar penting kesusastraan dan kebudayaan Sumatera Selatan.