Bahrum Rangkuti adalah sosok sastrawan, dosen, sekaligus rohaniwan militer yang menandai sejarah sastra dan pemikiran Islam di Indonesia pertengahan abad ke-20. Ia dikenal bukan hanya karena karya-karya puisinya yang sarat nilai keagamaan, tetapi juga karena dedikasinya dalam dunia pendidikan, kebudayaan, dan pelayanan publik.
Latar Keluarga
Nama lengkapnya adalah Bahrum Azaham Syah Rangkuti Pane Al Paguri, lahir pada 7 Agustus 1919 di Galang, Riau, dan wafat di Jakarta, 13 Agustus 1977 akibat tekanan darah tinggi.
Bahrum berasal dari keluarga Batak Muslim yang kuat dalam nilai-nilai keagamaan. Ayahnya, Muhammad Tosib Rangkuti, adalah seorang penganut tarikat yang mendalami ajaran Islam secara mendalam, sementara ibunya, Siti Hanifah Siregar, dikenal sebagai perempuan yang mencintai tasawuf dan mistik. Dari kedua orang tuanya, Bahrum mewarisi kepekaan spiritual dan minat terhadap kehidupan batiniah yang kelak banyak mewarnai karya-karyanya.
Pada tahun 1947, ia menikah dengan Apul Batubara, seorang bidan asal Sumatera Utara. Dari pernikahan tersebut lahirlah empat orang anak: Komarul Zaman, Fachrunnisa, Mahmuda Suraya, dan Basiruddin.
Pendidikan dan Kecintaan terhadap Bahasa
Sejak kecil, Bahrum menunjukkan minat besar terhadap ilmu pengetahuan dan bahasa. Ia menempuh pendidikan dasar di Hollands Inlandsche School (HIS) Medan dan melanjutkan ke Hogere Burger School (HBS) hingga tamat tahun 1937.
Pendidikan menengah atas ia jalani di Algemene Middelbare School (AMS) Yogyakarta, lulus tahun 1940. Dari sana, ia melanjutkan ke Faculteit der Lettern, yang kemudian menjadi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dengan fokus pada bahasa-bahasa Timur.
Namun perjalanan akademiknya tidak berhenti di situ. Pada tahun 1950, Bahrum mendapat kesempatan belajar ke luar negeri, di Jamiatul Mubasheren, Rabwah, Pakistan, tempat ia memperdalam studi keislaman sekaligus menumbuhkan kekaguman mendalam terhadap pemikir dan penyair besar Pakistan, Muhammad Iqbal.
Setelah kembali ke tanah air, Bahrum melanjutkan kuliah di Fakultas Sastra UI dan lulus sarjana muda pada tahun 1960, dengan tesis tentang Pramoedya Ananta Toer. Ia menguasai tujuh bahasa, yaitu Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Arab, Urdu, dan Melayu, kemampuan linguistik yang membuatnya produktif sebagai penerjemah, pengarang, dan dosen sastra.
Karier dan Aktivitas Publik
Kiprah Bahrum Rangkuti sangat luas, meliputi bidang kewartawanan, pendidikan, militer, dan pemerintahan.
Pada masa pendudukan Jepang (1942–1945), ia bekerja di Hoso Kanrikyoku dan menjadi redaktur majalah Indonesia. Ia juga aktif dalam Gerakan Baru, organisasi pemuda yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Aktivismenya membuatnya sempat ditahan oleh Jepang di penjara Senen bersama tokoh-tokoh muda lain seperti Chairil Anwar dan Basuki Resobowo.
Setelah kemerdekaan, Bahrum bergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat (BKR), kemudian Tentara Republik Indonesia (TRI), dan akhirnya TNI. Tahun 1947, ia menjadi anggota Tentara Rakyat dan sempat ditahan oleh tentara Belanda di Glodok karena aksi sabotase terhadap militer penjajah.
Setelah lepas dari dunia militer, Bahrum berkarier sebagai sekretaris dan pengajar bahasa Urdu dan Inggris di Kedutaan Besar RI Karachi, Pakistan, sekaligus memperdalam ilmu keislaman di sana.
Sekembalinya ke Indonesia, kiprahnya semakin luas. Ia menjadi Ketua Dinas Perawatan Rohani Islam Angkatan Laut (ALRI) dengan pangkat Kolonel Tituler, setelah ceramahnya tentang makna sosial Idulfitri memukau para perwira ALRI.
Dalam bidang pemerintahan, Bahrum dipercaya sebagai anggota DPR-GR (1969–1971) dan kemudian diangkat menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Agama RI (1971–1976) di bawah Menteri Mukti Ali. Setelah pensiun dari birokrasi, ia tetap aktif mengajar dan dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Sejarah dan Kebudayaan Islam di IAIN Syarif Hidayatullah (18 Desember 1976).
Karya dan Kontribusi dalam Dunia Sastra
Bahrum Rangkuti dikenal sebagai sastrawan religius yang hidup sezaman dengan Chairil Anwar, Asrul Sani, dan H.B. Jassin. Karya-karyanya mencakup puisi, drama, cerpen, esai, dan terjemahan. Ia banyak menulis di berbagai majalah ternama seperti Pandji Poestaka, Pantja Raja, Gema Suasana, Gema Islam, Siasat, dan Horison.
Karya-karya terkenalnya antara lain:
- Drama: Laila dan Majenun (1949), Asmara Dahana (1949), Sinar Memancar dari Djabal Ennur (1949), dan Arjuna Wiwaha (1950).
- Puisi: Toehankoe (1943), Akibat (1946), Laila (1948), Pasar Ikan (1948), Sajak-Sajak Muhammad Iqbal (1951), dan Lebaran di Tengah Gelombang (1971).
- Cerpen: Rindu (1941), Renungan Djiwa (1942), Ngobrol dengan Tjak Lahana (1948), dan Laut, Perempuan, dan Tuhan (1969).
- Esai dan terjemahan: Setahun di Negeri Bulan Bintang, Pengantar kepada Cita Iqbal, Puisi Dunia (Antigone) karya Sophocles, Dengan Benih Kemerdekaan karya Pushkin, dan Iqbal di Hadapan Rumi karya M. Iqbal.
Bahrum juga menyusun buku kajian sastra berjudul “Pramoedya Ananta Toer dan Karja Seninja” (Gunung Agung, 1963), serta menerjemahkan karya besar Iqbal, Asrar-i-Khudi, menjadi “Rahasia-Rahasia Pribadi” (1953).
Kumpulan puisinya “Nafiri Tjiputat” (kemudian disebut Nafiri Khatulistiwa) belum sempat diterbitkan semasa hidupnya, namun naskahnya tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Visi dan Pandangan Hidup
Bahrum Rangkuti memandang sastra sebagai sarana spiritual dan intelektual untuk memahami Tuhan dan manusia. Pengaruh Muhammad Iqbal terlihat jelas dalam karya-karyanya, terutama dalam gagasan tentang “khudi” (jati diri spiritual manusia). Ia percaya bahwa manusia beriman harus membangun kesadaran diri dan menolak fatalisme.
Dalam ceramah-ceramahnya, Bahrum sering menekankan pentingnya keimanan yang aktif dan berdaya cipta, bukan pasrah tanpa usaha. Ia berusaha menghubungkan nilai-nilai Islam dengan semangat kemerdekaan dan kemajuan bangsa.
Gaya Hidup dan Kepribadian
Menurut kesaksian sastrawan Indonesia O. Galelano, Bahrum dikenal sederhana dan bersahaja. Ia pernah membantu masyarakat miskin dan anak-anak terlantar sambil berjualan minyak tanah di rumahnya di Kebon Kacang, Jakarta. Kesederhanaan itu mencerminkan pandangan hidupnya bahwa ilmu dan iman harus membawa manfaat bagi sesama.
Kontroversi dan Kritik
Meski dikenal santun, Bahrum Rangkuti tak luput dari kontroversi. Karyanya “Sinar Memantjar di Djabal Ennur”, sebuah sandiwara radio tentang Nabi Muhammad, sempat mendapat protes keras karena dianggap melanggar batas kesakralan agama. Namun kritik tersebut justru memperkuat tekadnya untuk mempelajari lebih dalam pemikiran Islam modern, terutama dari karya Iqbal The Reconstruction of Religious Thought in Islam.
Kritikus sastra Balfas bahkan menjulukinya “filosof kuda lumping”, menggambarkan gaya berpikir Bahrum yang bombastis namun penuh energi dan orisinalitas. Meski demikian, banyak kalangan mengakui bahwa Bahrum Rangkuti adalah sosok yang konsisten mencari jembatan antara iman dan akal, antara sastra dan filsafat Islam.
Warisan dan Pengaruh
Hingga kini, nama Bahrum Rangkuti dikenang sebagai sastrawan Muslim progresif yang memperkaya dunia sastra Indonesia dengan perspektif keagamaan yang modern dan humanistik. Ia membuka ruang bagi dialog antara sastra dan teologi, dua bidang yang jarang dipadukan secara harmonis.
Melalui karya, ajaran, dan kehidupannya, Bahrum meninggalkan jejak intelektual dan spiritual yang kuat—menginspirasi generasi sesudahnya untuk melihat bahwa iman dan ilmu adalah dua sisi dari satu pencarian yang sama: makna kemanusiaan.