Budiman S. Hartoyo adalah salah satu nama penting dalam sejarah sastra Indonesia modern, terutama dalam lingkaran penyair Angkatan '66. Ia dikenal bukan hanya sebagai penyair yang memiliki kepekaan sosial dan spiritual, tetapi juga sebagai wartawan, seniman teater, dan tokoh kebudayaan yang aktif memperjuangkan ruang ekspresi bagi seniman muda di Indonesia.
Latar Keluarga
Budiman S. Hartoyo lahir di Solo (Surakarta), Jawa Tengah, pada 5 Desember 1938 dan meninggal dunia pada 11 Maret 2010. Ia berasal dari keluarga yang sederhana dan religius. Ayahnya adalah seorang guru di Madrasah Mamba’ul ‘Ulum Surakarta, lembaga pendidikan Islam tertua di kota itu. Lingkungan keluarga yang sarat nilai moral dan pendidikan ini memberi dasar kuat bagi pembentukan karakter Budiman sebagai pribadi yang berpikir bebas namun beretika, serta sensitif terhadap problem sosial di sekitarnya.
Sejak kecil, ia sudah menunjukkan minat besar terhadap dunia seni dan sastra. Rumahnya sering menjadi tempat diskusi kecil bersama teman-teman sekolah tentang puisi dan politik, terutama di masa pergolakan nasional pada 1950-an.
Pendidikan dan Pembentukan Diri
Budiman menempuh pendidikan di Solo. Ia menamatkan Sekolah Menengah Pertama pada tahun 1956, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Muhammadiyah Solo dan lulus tahun 1961. Pendidikan di lembaga Muhammadiyah memperkuat dasar keislamannya sekaligus memperluas pandangannya terhadap modernitas dan pembaruan sosial.
Pada tahun 1962, Budiman mulai aktif di dunia penyiaran dengan membantu acara “Sastra Budaya” di RRI Solo. Pengalaman ini menjadi awal perjumpaannya dengan dunia jurnalistik dan seni pertunjukan.
Kemudian, pada 1966, ia melanjutkan pendidikan ke Institut Jurnalistik Indonesia di Solo. Di sinilah pemikiran kritisnya semakin terbentuk, terutama terkait hubungan antara sastra, kebebasan berekspresi, dan tanggung jawab sosial penulis di tengah situasi politik yang bergejolak.
Karier dan Aktivitas Publik
Perjalanan karier Budiman S. Hartoyo sangat kaya dan lintas bidang. Sejak pertengahan 1960-an, ia aktif sebagai jurnalis dan redaktur di berbagai media. Antara tahun 1966 hingga 1968, ia tercatat bekerja di Mingguan Surakarta, Mingguan Patria, Majalah Genta, dan juga Majalah Tempo. Dalam periode yang sama, ia menyelenggarakan rubrik sastra “Sumbangsih” di Mingguan Surakarta, yang menjadi wadah bagi penulis muda mengekspresikan gagasan mereka.
Selain di dunia jurnalistik, Budiman juga aktif dalam organisasi kebudayaan dan profesi. Ia pernah menjadi Sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Solo, kemudian menjabat Ketua III Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Melalui posisi ini, ia banyak terlibat dalam pengembangan program teater, sastra, dan seni pertunjukan di tingkat nasional.
Pada tahun 1970, Budiman memimpin workshop teater Pusat Kebudayaan di Sasonomulyo, Surakarta, di mana ia melatih generasi muda dalam seni peran dan penyutradaraan. Ia dikenal sebagai sosok yang sabar, inspiratif, dan terbuka terhadap ide-ide baru.
Tahun 1974, Budiman berkesempatan pergi ke Belanda dan Belgia. Perjalanan tersebut memperluas wawasannya tentang kebebasan berpikir dan pentingnya dialog lintas budaya. Sepulang dari Eropa, ia membawa semangat baru untuk memperkaya dunia kebudayaan Indonesia dengan nilai-nilai universal tanpa meninggalkan akar tradisi.
Hingga awal 2000-an, Budiman masih aktif sebagai penulis dan wartawan lepas. Salah satu karyanya yang cukup dikenal di masa akhir hidupnya adalah tulisan investigatif di jurnal Pantau (2002), yang membahas pesantren Al-Mu’min Ngruki, Solo—dikenalnya sebagai liputan mendalam tentang isu keagamaan dan terorisme, ditulis dengan gaya jurnalisme sastrawi.
Karya dan Prestasi
Sebagai penyair, Budiman S. Hartoyo dikenal lewat gaya bahasanya yang tenang namun sarat makna spiritual. Puisinya kerap mengangkat tema tentang cinta, penderitaan, kesunyian, dan pencarian makna hidup, tetapi tidak terlepas dari konteks sosial dan politik zamannya.
Buku Puisi Tunggal:
- Lima Belas Puisi (Pustaka Jaya, 1972)
- Sebelum Tidur (Pustaka Jaya, 1977)
Karya-karyanya juga banyak dimasukkan ke dalam antologi sastra penting, antara lain:
- Angkatan 66: Prosa dan Puisi (disusun oleh H.B. Jassin)
- Laut Biru Langit Biru (disusun oleh Ajip Rosidi, 1977)
- Tonggak 3: Antologi Puisi Indonesia Modern (disusun oleh Linus Suryadi AG, 1987)
Keikutsertaannya dalam berbagai antologi membuktikan pengakuan terhadap kualitas puisinya di kalangan kritikus dan penyair sezaman. Ia sering disebut sebagai penyair reflektif, yang menulis bukan untuk agitasi, melainkan untuk menggugah kesadaran batin pembaca.
Kegiatan Seni Lain
Selain menulis, Budiman juga dikenal sebagai penyutradara drama, pelatih paduan suara, dan pelukis amatir. Ia sering terlibat dalam kegiatan seni lintas disiplin yang menyatukan teater, musik, dan puisi. Aktivitas ini memperlihatkan pandangan seninya yang holistik: bahwa sastra bukan sekadar kata, tetapi juga pengalaman estetika yang menyentuh berbagai bentuk ekspresi.
Visi dan Kontribusi
Visi Budiman S. Hartoyo terhadap sastra dan kebudayaan adalah membangun manusia Indonesia yang sadar nilai dan peka terhadap kemanusiaan. Ia percaya bahwa penyair harus menjadi “penyaksi zaman” yang mengingatkan masyarakat terhadap arah moral dan spiritual kehidupan, tanpa kehilangan daya imajinasi.
Sebagai wartawan dan budayawan, ia berusaha menjaga jembatan antara dunia sastra dan realitas sosial. Ia menolak pandangan bahwa puisi harus elitis; baginya, puisi justru harus dekat dengan kehidupan sehari-hari, namun disampaikan dengan bahasa yang halus dan penuh makna.
Kontroversi dan Kritik
Meski dikenal dengan citra positif, Budiman S. Hartoyo juga pernah menghadapi kritik. Liputan investigatifnya tentang pesantren Al-Mu’min Ngruki pada tahun 2002, misalnya, sempat memicu perdebatan karena dianggap terlalu berani dan menyinggung kalangan tertentu. Namun, bagi banyak kalangan pers, karya tersebut justru menunjukkan integritas jurnalistik dan keberanian moral seorang penulis yang berpihak pada kebenaran.
Dalam dunia sastra, beberapa kritikus menilai gaya puisinya terlalu “sunyi” dibandingkan dengan penyair Angkatan ’66 lainnya yang lebih politis. Namun, justru dalam kesunyian dan renungan itulah keunikan Budiman terletak — ia menulis bukan untuk berteriak, tetapi untuk mengingatkan.
Warisan dan Pengaruh
Hingga akhir hayatnya, Budiman S. Hartoyo tetap menulis dan berdialog dengan generasi muda. Warisannya tidak hanya berupa puisi dan artikel jurnalistik, tetapi juga semangat idealisme dan kejujuran intelektual.
Karya-karyanya menjadi saksi atas perjalanan seorang intelektual Indonesia yang menjembatani dunia seni, agama, dan realitas sosial. Ia adalah sosok yang percaya bahwa perubahan besar dimulai dari kesadaran kecil — dari kata, dari puisi.
Budiman S. Hartoyo adalah contoh penyair yang hidup di antara dua dunia: sastra dan jurnalisme, dan tetap teguh menjaga nurani di tengah perubahan zaman. Ia meninggalkan jejak yang dalam bagi dunia sastra Indonesia, terutama dalam hal kesederhanaan bahasa dan kedalaman makna.
Meskipun telah tiada sejak 2010, pemikiran dan puisinya tetap hidup di hati para pembaca dan penulis muda Indonesia, sebagai teladan seorang budayawan yang menulis bukan untuk ketenaran, melainkan untuk menyalakan cahaya kesadaran di tengah gelap kehidupan.