Nama Nenden Lilis Aisyah dikenal luas dalam jagat kesusastraan Indonesia kontemporer sebagai salah satu penyair perempuan yang konsisten, produktif, dan memiliki komitmen kuat terhadap pengembangan dunia sastra dari sisi akademik maupun kreatif. Ia lahir di Malangbong, Garut, Jawa Barat, pada 26 September 1971. Dari kota kecil di Priangan Timur itulah, Nenden tumbuh menjadi sosok yang menyalurkan kepekaannya terhadap bahasa, budaya, dan pengalaman hidup perempuan Indonesia melalui karya-karya yang berdaya ungkap tinggi dan bernas secara intelektual.
Latar Keluarga dan Pengaruh Awal
Nenden berasal dari keluarga Sunda yang menghargai pendidikan dan tradisi. Lingkungan keluarganya menanamkan nilai-nilai religius, kedisiplinan, serta kecintaan terhadap pengetahuan dan kebudayaan lokal. Nilai-nilai inilah yang kelak menjadi dasar dalam perjalanan intelektual dan estetiknya.
Meski tidak banyak informasi publik mengenai orang tuanya, pengaruh lingkungan dan budaya Sunda begitu kental terlihat dalam diksi dan atmosfer puisinya—menghadirkan perpaduan antara kelembutan perempuan dan kekuatan spiritual yang khas.
Pendidikan dan Pembentukan Intelektual
Nenden menempuh pendidikan tinggi di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni (FBPS), IKIP Bandung—yang kini dikenal sebagai Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Ia kemudian melanjutkan studi S2 di kampus yang sama, mendalami teori sastra dan kritik sastra. Semasa kuliah, ia aktif menjadi redaktur majalah kampus Isola, tempat yang menjadi wadah awal bagi pengasahan kemampuannya dalam menulis dan berpikir kritis.
Keterlibatannya dalam dunia kampus tidak berhenti setelah lulus. Nenden kemudian menjadi dosen di Jurusan Sastra Indonesia UPI Bandung, di mana ia turut mengembangkan kajian sastra Indonesia, khususnya dalam bidang puisi dan sastra perempuan. Di tangan Nenden, dunia akademik tidak hanya menjadi ruang teoritis, melainkan juga tempat lahirnya dialog kreatif antara pendidikan dan praktik seni.
Karier dan Aktivitas Publik
Sebagai akademisi dan penyair, Nenden Lilis Aisyah memiliki kiprah yang menonjol baik di tingkat nasional maupun internasional. Ia aktif menulis esai, resensi, reportase, cerpen, dan puisi di berbagai media nasional seperti Kompas, Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Pikiran Rakyat, Surabaya Post, hingga Majalah Horison.
Keterlibatannya tidak hanya berhenti di ranah tulisan. Ia juga kerap diundang dalam berbagai forum sastra internasional, di antaranya:
- Mimbar Penyair Abad 21 (1996)
 - Workshop Cerpen Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA)
 - Festival de Winternachten, Den Haag, Belanda
 - KBIH Paris, Prancis (1999)
 - Festival Puisi Internasional di Teater Utan Kayu, Jakarta (2000)
 - Kongres Cerpen I di Yogyakarta (2000)
 - Festival Puisi Internasional Indonesia (2002)
 - Diskusi dan Pembacaan Puisi di Yayasan Kesenian Perak, Ipoh, Malaysia (2004)
 
Selain aktif menulis dan mengajar, Nenden juga memiliki kepedulian besar terhadap pemberdayaan perempuan di bidang sastra. Ia mendirikan Komunitas Sastra Dewi Sartika (KSDS) di Bandung, sebuah wadah yang berfokus pada pengembangan kreativitas, potensi, dan sosialisasi karya sastra perempuan.
Karya dan Prestasi
Dalam khazanah sastra Indonesia, karya-karya Nenden menempati posisi penting karena kekuatan bahasa dan kepekaan tematiknya. Beberapa karya pentingnya meliputi:
Buku Puisi:
- Negeri Sihir (1999)
 - Maskumambang Buat Ibu (2016)
 
Buku Cerpen:
- Ruang Belakang (2003) — karya ini memenangkan lomba penulisan cerpen yang diselenggarakan oleh Pikiran Rakyat Edisi Cirebon dan Bank BTPN Cirebon.
 
Karya-karyanya, baik puisi dan cerpen, juga banyak termuat dalam antologi bersama. Selain itu, beberapa karya Nenden juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Belanda, menandakan penerimaan internasional terhadap kualitas puisinya. Bahkan, Ari KPIN memusikalisasikan sebagian puisi dari Negeri Sihir ke dalam bentuk kaset, memperluas jangkauan apresiasi terhadap karyanya.
Gaya dan Tema Karya
Sebagai penyair perempuan, Nenden kerap mengangkat tema identitas, spiritualitas, tubuh, dan pengalaman perempuan dalam struktur sosial yang patriarkis. Puisinya kaya akan simbol dan metafora, menghadirkan imaji yang kuat namun lembut. Dalam Maskumambang Buat Ibu, misalnya, ia menampilkan keheningan dan kasih dalam konteks kehilangan serta penghayatan spiritual.
Gaya bahasa Nenden dikenal reflektif dan liris, dengan kecenderungan menggabungkan tradisi lokal dan modernitas, antara keindahan bahasa Sunda dan ketegasan kritik sosial.
Visi dan Kontribusi
Nenden memiliki visi untuk menjadikan sastra sebagai medium pemberdayaan dan refleksi sosial, bukan sekadar ruang estetika. Ia percaya bahwa karya sastra dapat membentuk cara pandang masyarakat terhadap isu-isu gender, pendidikan, dan kebudayaan. Melalui perannya sebagai dosen dan penggerak komunitas sastra, Nenden telah membimbing banyak mahasiswa dan penulis muda agar tetap menjaga integritas karya di tengah derasnya arus komersialisasi budaya.
Kontroversi dan Kritik
Sebagai figur publik di bidang sastra dan akademik, Nenden tidak sepenuhnya lepas dari kritik. Beberapa pandangan menganggap pendekatan feminis dalam puisinya terlalu konseptual dan akademis, sementara yang lain menilai sebaliknya—bahwa ia berhasil memadukan kedalaman teori dengan keindahan bahasa. Namun, Nenden selalu menghadapi kritik dengan sikap terbuka dan reflektif, menjadikannya bahan dialog produktif dalam ruang-ruang diskusi sastra.
Kehidupan dan Aktivitas Kini
Kini, Nenden Lilis Aisyah masih aktif mengajar di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, menulis, serta menjadi pembicara di berbagai seminar dan pelatihan sastra. Ia terus memperjuangkan posisi perempuan dalam sastra Indonesia sekaligus memperluas pemahaman tentang peran sastra dalam pendidikan karakter bangsa.
Nenden Lilis Aisyah adalah contoh nyata bagaimana intelektualitas dan sensibilitas artistik bisa berpadu harmonis. Ia bukan hanya penulis puisi, tetapi juga pendidik dan penggerak kebudayaan yang menyalakan api kesadaran baru bagi generasi muda penulis Indonesia. Dalam dirinya, sastra bukan sekadar tulisan, melainkan cara hidup yang memuliakan bahasa, manusia, dan kemanusiaan itu sendiri.