Hasbi Burman, atau yang akrab dikenal dengan sebutan “Presiden Rex”, merupakan salah satu figur legendaris dalam dunia kesenian Aceh. Ia lahir di Lhok Buya, Aceh Barat, pada 9 Agustus 1955, dan dikenal luas sebagai sosok seniman otodidak yang hidupnya penuh dedikasi terhadap dunia sastra, khususnya puisi. Julukan “Presiden Rex” sendiri merujuk pada sebuah tempat kuliner legendaris di kawasan Peunayong, Banda Aceh, bernama Rex, di mana Hasbi kerap menghabiskan waktunya untuk membaca puisi dan berinteraksi dengan komunitas seni setempat.
Latar Keluarga dan Awal Kehidupan
Hasbi Burman berasal dari keluarga sederhana di Aceh Barat. Meskipun tidak banyak catatan resmi mengenai latar keluarga dan pendidikan formalnya, berbagai kesaksian teman-temannya menyebut bahwa lingkungan dan budaya Aceh yang religius serta sarat tradisi sastra lisan banyak memengaruhi jalan hidupnya. Sejak muda, Hasbi dikenal memiliki semangat belajar yang tinggi dan rasa ingin tahu yang besar terhadap dunia seni dan sastra.
Ia tumbuh di tengah masyarakat yang menghargai hikayat, syair, dan pantun sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Dari sanalah bakatnya sebagai penulis dan pembaca puisi tumbuh. Walaupun tidak menempuh pendidikan tinggi di bidang sastra secara formal, Hasbi berhasil menempatkan dirinya di jajaran seniman yang disegani di Aceh berkat ketekunan dan dedikasinya yang konsisten terhadap dunia literasi.
Pendidikan dan Pembentukan Diri sebagai Seniman Otodidak
Tidak ada catatan resmi mengenai riwayat pendidikan tinggi Hasbi Burman, namun ia dikenal sebagai seniman otodidak yang belajar dari pengalaman hidup dan interaksi sosial. Ia banyak mengasah kemampuan menulis melalui pembacaan karya-karya sastra klasik dan kontemporer, baik lokal maupun nasional.
Pergaulannya di komunitas seniman Banda Aceh, terutama di lingkungan Rex Peunayong, menjadi ruang belajar informal yang membentuk cara pandangnya terhadap seni dan kehidupan. Ia belajar menulis bukan dari bangku kuliah, melainkan dari kehidupan sehari-hari—dari jalanan, dari percakapan masyarakat, dan dari suara hati yang jujur.
Perjalanan Karier dan Aktivitas Publik
Hasbi Burman dikenal sebagai penyair jalanan dan aktivis budaya yang berperan penting dalam menjaga semangat seni di Aceh pascakonflik dan pascatsunami. Selama bertahun-tahun, ia aktif dalam berbagai kegiatan kesenian di Banda Aceh, tampil membaca puisi di acara-acara publik, serta menjadi inspirasi bagi banyak seniman muda.
Meskipun hidup sederhana, Hasbi tidak pernah berhenti berkarya. Ia sering tampil dalam event budaya, baik yang bersifat lokal maupun nasional, untuk membacakan puisi-puisi yang ditulisnya sendiri. Melalui karya-karyanya, Hasbi berbicara tentang cinta, penderitaan, kemanusiaan, dan kehidupan rakyat kecil dengan gaya bahasa yang lugas namun penuh makna.
Karya dan Prestasi
Puncak pengakuan terhadap perjalanan kreatif Hasbi Burman datang pada tahun 2019, ketika antologi puisi tunggalnya diterbitkan oleh Nuansa Cendekia, Bandung. Buku tersebut memuat 107 puisi pilihan karya Hasbi, yang sebagian besar menggambarkan kegelisahan sosial dan refleksi spiritualnya sebagai seniman yang hidup di tengah perubahan zaman.
Karya-karya Hasbi sering mendapat apresiasi dari sesama penyair dan pengamat sastra Aceh. Banyak yang menganggapnya sebagai ikon seniman jalanan Aceh, seorang penyair yang menulis bukan untuk kemewahan atau popularitas, melainkan untuk menyuarakan hati nurani dan kejujuran kehidupan.
Warisan karya dan pengaruhnya di kalangan seniman Aceh menjadi prestasi tersendiri. Buku puisinya kini menjadi bahan bacaan penting di berbagai komunitas literasi lokal dan lembaga kebudayaan.
Visi dan Pandangan Hidup
Hasbi Burman memandang seni, terutama puisi, sebagai sarana untuk menyembuhkan luka sosial dan memperkuat rasa kemanusiaan. Dalam banyak puisinya, ia menyuarakan pesan moral dan spiritual, menekankan pentingnya empati, kesederhanaan, serta kepedulian terhadap sesama.
Kehidupan Pribadi dan Warisan Sosial
Hasbi dikenal sebagai pribadi rendah hati dan bersahaja. Ia hidup sederhana di Gampong Karieng, Blang Bintang, Aceh Besar, hingga akhir hayatnya. Keberadaannya di tengah masyarakat setempat dikenang karena sikapnya yang ramah, terbuka, dan selalu siap membantu siapa pun yang membutuhkan.
Kematian Hasbi pada Senin malam, 11 Maret 2024 (selepas salat tarawih pertama Ramadan 1445 H) meninggalkan duka mendalam bagi dunia seni Aceh. Banyak komunitas sastra, budayawan, dan tokoh masyarakat mengungkapkan rasa kehilangan atas kepergian “Presiden Rex”, sosok yang menjadi simbol ketulusan berkarya di tengah keterbatasan.
Hasbi Burman akan selalu dikenang sebagai penyair rakyat Aceh—seorang seniman yang menulis bukan karena ingin terkenal, tetapi karena ingin menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan. Dari jalanan Rex hingga panggung sastra, ia membuktikan bahwa karya besar tidak selalu lahir dari kemewahan, melainkan dari kejujuran dan kesetiaan terhadap nurani.
Warisan puisinya menjadi pengingat bahwa seni sejati tidak pernah mati, karena ia hidup di dalam hati manusia yang terus mencari makna. Hasbi Burman, sang “Presiden Rex”, telah pergi, tetapi suaranya akan selalu bergema dalam setiap kata yang pernah ia tulis.