Dalam sebuah survei UNESCO yang sempat mencuat beberapa tahun lalu, Indonesia disebut sebagai salah satu negara dengan tingkat literasi terendah di dunia. Meskipun data tersebut sering diperdebatkan, kenyataan di lapangan tetap menunjukkan fakta yang memprihatinkan: budaya membaca di negeri ini masih jauh dari ideal. Banyak orang lebih akrab dengan gawai dan media sosial ketimbang buku. Bahkan, hasil survei dari Program for International Student Assessment (PISA) menunjukkan kemampuan membaca siswa Indonesia berada di bawah rata-rata dunia. Fenomena ini bukan hanya soal malas membaca, tetapi mencerminkan persoalan sosial, ekonomi, dan kultural yang kompleks.
Rendahnya minat baca bukan sekadar kegagalan individu, melainkan cermin dari sistem yang tidak menumbuhkan rasa ingin tahu dan kebiasaan membaca sejak dini. Untuk memahami akar masalahnya, perlu ditelusuri dari berbagai sisi: pendidikan, ekonomi, budaya populer, hingga ekosistem literasi nasional.
1. Sistem Pendidikan yang Kurang Menumbuhkan Rasa Cinta Membaca
Salah satu penyebab paling mendasar dari rendahnya minat baca di Indonesia terletak pada sistem pendidikan yang masih menekankan hafalan dibandingkan pemahaman. Banyak siswa hanya membaca untuk menghafal jawaban ujian, bukan untuk memahami makna atau memperluas wawasan. Buku pelajaran pun cenderung bersifat kaku, sarat teori, dan jarang dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari.
Proses belajar di sekolah masih berpusat pada guru (teacher-centered) daripada siswa (student-centered). Akibatnya, kegiatan membaca sering dianggap kewajiban, bukan kebutuhan. Di sisi lain, sebagian besar sekolah tidak memiliki perpustakaan yang layak. Berdasarkan data Perpustakaan Nasional, dari ratusan ribu sekolah di Indonesia, hanya sebagian kecil yang memiliki fasilitas perpustakaan dengan koleksi memadai. Bahkan, banyak perpustakaan sekolah sekadar menjadi ruang penyimpanan buku lama yang jarang disentuh.
Dalam situasi seperti ini, sulit diharapkan muncul kebiasaan membaca yang berkelanjutan. Padahal, literasi bukan sekadar kemampuan membaca huruf, melainkan juga memahami, mengkritisi, dan menghubungkan teks dengan realitas.
2. Akses terhadap Buku yang Masih Terbatas
Rendahnya minat baca juga tidak bisa dilepaskan dari keterbatasan akses terhadap bahan bacaan. Harga buku di Indonesia relatif mahal jika dibandingkan dengan daya beli masyarakat. Sebuah buku nonfiksi rata-rata dijual di atas Rp80.000 hingga Rp150.000, sementara upah minimum di banyak daerah belum mencapai angka yang memungkinkan seseorang membeli buku secara rutin.
Selain itu, distribusi buku masih sangat timpang. Toko buku besar terkonsentrasi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, atau Yogyakarta. Di wilayah pelosok, mendapatkan buku baru bukan hal mudah. Perpustakaan daerah pun seringkali minim koleksi dan pembaruan. Akibatnya, masyarakat di luar kota besar tidak memiliki banyak pilihan untuk membaca buku berkualitas.
Dalam era digital, seharusnya keterbatasan fisik bisa diatasi dengan platform e-book atau perpustakaan daring. Namun, penetrasi literasi digital di Indonesia juga belum merata. Banyak orang yang memiliki ponsel pintar tetapi menggunakannya lebih banyak untuk hiburan ketimbang membaca.
3. Budaya Instan dan Dominasi Media Sosial
Kehadiran media sosial membawa dampak ganda terhadap minat baca. Di satu sisi, platform seperti Instagram, TikTok, atau X (Twitter) bisa menjadi ruang promosi buku dan diskusi literasi. Namun di sisi lain, budaya digital yang serba cepat justru mengikis kesabaran dalam membaca teks panjang.
Generasi muda kini terbiasa dengan konten singkat dan visual. Mereka lebih sering membaca caption, meme, atau video berdurasi 15 detik dibandingkan membaca buku ratusan halaman. Perubahan pola konsumsi informasi ini menyebabkan turunnya rentang perhatian (attention span). Akibatnya, membaca buku sering dianggap melelahkan dan membosankan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin terjebak dalam budaya instan — ingin mendapatkan pengetahuan tanpa proses. Padahal, membaca buku memerlukan waktu, konsentrasi, dan kesabaran. Jika semua hal diukur dari kecepatan dan kemudahan, minat baca tentu akan terus menurun.
4. Lingkungan Sosial yang Kurang Mendukung Literasi
Kebiasaan membaca bukanlah kemampuan yang tumbuh secara alami tetapi terbentuk dari lingkungan yang mendukung. Namun, di banyak keluarga Indonesia, membaca belum menjadi budaya yang diwariskan. Orang tua lebih sering mendorong anak untuk belajar demi nilai ujian, bukan demi pengetahuan.
Televisi, gawai, dan hiburan digital sering mendominasi ruang keluarga. Buku, jika ada, kadang hanya berfungsi sebagai pajangan. Dalam banyak kasus, anak-anak tumbuh tanpa melihat contoh nyata dari orang dewasa yang gemar membaca. Akibatnya, mereka tidak memiliki role model literasi di rumah.
Selain di tingkat keluarga, lingkungan sosial yang luas juga berperan. Di sejumlah negara maju, membaca dianggap bagian dari gaya hidup — orang membaca di kafe, taman, atau transportasi umum. Di Indonesia, pemandangan seperti itu masih jarang. Aktivitas membaca sering dianggap eksklusif atau bahkan “aneh”. Tanpa dukungan sosial yang kuat, pembaca kerap merasa terisolasi dan sulit mempertahankan kebiasaan membaca.
5. Kurangnya Promosi dan Apresiasi terhadap Penulis Lokal
Minat baca yang rendah juga terkait dengan rendahnya apresiasi terhadap karya sastra dan penulis lokal. Banyak masyarakat lebih mengenal penulis luar negeri ketimbang pengarang Indonesia. Padahal, Indonesia memiliki kekayaan literasi luar biasa — dari sastra klasik hingga karya kontemporer yang tak kalah menarik.
Kurangnya promosi dan dukungan terhadap penulis lokal membuat buku-buku Indonesia sulit bersaing di pasar. Di toko buku, ruang untuk karya lokal seringkali kecil dibandingkan rak buku terjemahan. Di sisi lain, kebijakan pemerintah dalam mendukung industri penerbitan dan distribusi buku juga belum optimal.
Jika karya lokal tidak dikenal, masyarakat kehilangan kedekatan emosional dengan bacaan. Padahal, salah satu kunci membangun minat baca adalah menemukan buku yang relevan dengan pengalaman dan budaya pembacanya.
6. Rendahnya Literasi Digital dan Informasi
Meski akses terhadap internet semakin luas, hal ini tidak otomatis meningkatkan minat baca. Banyak orang lebih sering mengonsumsi informasi secara pasif — menonton video, mendengarkan podcast, atau membaca potongan berita tanpa verifikasi. Literasi digital yang rendah menyebabkan masyarakat kesulitan membedakan informasi valid dan hoaks.
Padahal, kemampuan literasi informasi adalah bagian penting dari budaya membaca di era digital. Masyarakat yang terbiasa membaca dengan kritis akan lebih mampu memahami konteks, menilai sumber, dan membentuk opini yang matang.
Sayangnya, banyak konten di media digital yang lebih menonjolkan sensasi daripada substansi. Ini membuat minat baca terhadap sumber-sumber berkualitas — seperti jurnal, artikel ilmiah, atau esai — semakin terpinggirkan.
7. Faktor Ekonomi dan Kesenjangan Sosial
Faktor ekonomi tidak bisa diabaikan dalam persoalan minat baca. Banyak keluarga di Indonesia masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar, sehingga membeli buku dianggap bukan prioritas. Dalam kondisi seperti ini, wajar jika kebiasaan membaca tidak tumbuh kuat.
Kesenjangan sosial juga memengaruhi persebaran literasi. Masyarakat di kota besar memiliki akses ke toko buku, acara literasi, atau komunitas pembaca, sedangkan mereka yang tinggal di daerah terpencil seringkali tidak memiliki kesempatan yang sama.
Selain itu, kebijakan publik dalam pemerataan literasi masih terpusat. Program seperti Gerakan Literasi Nasional (GLN) memang ada, tetapi implementasinya belum konsisten di semua daerah. Tanpa dukungan nyata, literasi hanya menjadi jargon.
8. Kurangnya Ruang Publik yang Ramah Bacaan
Ruang publik di Indonesia jarang dirancang sebagai tempat yang mendukung kegiatan membaca. Taman kota lebih banyak diisi oleh pedagang atau area hiburan. Transportasi umum pun jarang menyediakan ruang nyaman untuk membaca.
Padahal, di negara-negara dengan tingkat literasi tinggi, ruang publik seperti taman, halte, atau stasiun sering dilengkapi rak buku atau pojok baca gratis. Keberadaan ruang semacam ini tidak hanya memperluas akses, tetapi juga membangun kebiasaan membaca sebagai bagian dari keseharian.
Inisiatif kecil seperti taman baca masyarakat (TBM) sebenarnya sudah ada di berbagai daerah. Namun, banyak yang masih bergantung pada relawan dan donasi. Tanpa dukungan berkelanjutan, sulit bagi TBM untuk bertahan dan berkembang.
9. Minimnya Peran Media dalam Mempopulerkan Literasi
Media massa, baik cetak maupun daring, memiliki peran besar dalam membentuk opini publik. Namun, perhatian media terhadap literasi masih sangat terbatas. Berita tentang selebritas atau isu politik jauh lebih mendominasi daripada liputan tentang buku, penulis, atau gerakan membaca.
Rubrik sastra dan budaya di surat kabar pun makin berkurang. Padahal, media bisa menjadi jembatan antara penulis dan pembaca. Jika media lebih aktif mempromosikan budaya membaca, publik akan lebih familiar dengan dunia literasi.
Kampanye membaca yang dilakukan media sosial terkadang berhasil menarik perhatian, tetapi seringkali bersifat musiman. Literasi seharusnya bukan sekadar tren, melainkan gerakan jangka panjang.
10. Kurangnya Integrasi Literasi dalam Kehidupan Sehari-hari
Terakhir, penyebab rendahnya minat baca di Indonesia adalah karena membaca belum dianggap bagian dari gaya hidup. Di banyak negara, membaca buku adalah aktivitas yang keren dan prestisius. Di Indonesia, citra itu belum sepenuhnya terbentuk.
Generasi muda lebih bangga membeli ponsel terbaru daripada mengoleksi buku. Padahal, buku memiliki nilai yang jauh lebih abadi: pengetahuan, imajinasi, dan pemikiran. Selama membaca belum diintegrasikan dalam identitas sosial masyarakat, minat baca akan sulit meningkat.
Pemerintah, sekolah, komunitas, dan media perlu bekerja bersama untuk menjadikan membaca sebagai bagian dari gaya hidup. Bukan hanya slogan “Ayo Membaca”, tetapi sebuah gerakan nyata yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
Jalan Panjang Membangun Budaya Literasi
Rendahnya minat baca di Indonesia tidak bisa diatasi dengan satu kebijakan saja. Ini adalah persoalan multidimensional yang menyangkut pendidikan, ekonomi, budaya, dan teknologi. Namun, bukan berarti tidak ada harapan.
Gerakan literasi di berbagai daerah, komunitas baca mandiri, dan munculnya penulis muda menunjukkan bahwa kesadaran mulai tumbuh. Pemerintah perlu memperkuat kebijakan dengan memastikan distribusi buku lebih merata, memperbaiki perpustakaan, dan mendukung kegiatan literasi di sekolah maupun masyarakat.
Pada akhirnya, membaca adalah fondasi peradaban. Masyarakat yang gemar membaca akan lebih kritis, kreatif, dan tangguh menghadapi perubahan zaman. Jalan menuju bangsa literat memang panjang, tetapi langkah pertama selalu dimulai dari kesadaran — bahwa setiap halaman yang dibaca adalah investasi bagi masa depan bangsa.