Radhar Panca Dahana lahir di Jakarta pada 26 Maret 1965 dan meninggal dunia pada 22 April 2021 di kota yang sama. Ia dikenal luas sebagai sastrawan, budayawan, dan intelektual publik Indonesia. Sejak muda, Radhar menunjukkan minat yang mendalam pada dunia seni dan pemikiran.
Dalam berbagai wawancara, Radhar sering menyinggung pengaruh masa kecilnya terhadap perjalanan intelektualnya. Ia dibesarkan dalam keluarga dengan pola asuhan yang keras dan otoriter, terutama dari sang ayah yang menginginkan Radhar menekuni seni lukis. Namun, jiwa mudanya justru tertarik pada sastra dan teater, sebagai bentuk kebebasan berpikir dan ekspresi diri.
Didikan yang keras itu, meski penuh konflik, turut membentuk keteguhan Radhar dalam memperjuangkan idealisme dan kebebasan berpendapat. Dari keluarganya, ia belajar bahwa kehidupan tidak selalu ramah, namun seni dan pengetahuan bisa menjadi jalan pembebasan bagi manusia.
Pendidikan dan Pembentukan Intelektual
Radhar menempuh pendidikan tinggi di Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Indonesia, dan meraih gelar sarjana pada tahun 1993. Hasratnya untuk memperdalam ilmu sosial dan budaya kemudian membawanya ke Prancis, di mana ia melanjutkan studi di École des Hautes Études en Sciences Sociales (EHESS), Paris, pada tahun 2001.
Pengalaman akademiknya di Eropa memperluas pandangan Radhar mengenai dinamika kebudayaan, filsafat, dan masyarakat modern. Ia dikenal sebagai pemikir yang tajam dan reflektif, sering kali memadukan perspektif sosiologis dengan sensitivitas estetika.
Awal Karier dan Perjalanan Sastra
Bakat menulis Radhar sudah terlihat sejak usia lima tahun, ketika ia gemar menyaksikan pementasan teater di kawasan Bulungan, Jakarta. Ia menulis cerpen pertamanya yang berjudul “Tamu Tak Diundang” pada usia 10 tahun, yang dimuat di Harian Kompas — sebuah capaian luar biasa untuk anak seusianya.
Di usia remaja, Radhar mulai bekerja sebagai reporter lepas dan cerpenis di majalah remaja Zaman serta Hai. Ia juga menggunakan nama samaran Reza Mortafilini untuk menghindari kemarahan ayahnya, yang belum menerima pilihannya sebagai penulis. Meski begitu, semangatnya tak pernah padam. Pengalaman sebagai wartawan memberinya kepekaan sosial yang kelak menjadi landasan kuat bagi karya-karya esainya.
Selama kariernya, Radhar juga pernah menjadi redaktur tamu di majalah Kawanku (1977), serta bekerja di berbagai media besar seperti Kompas, Jakarta Jakarta, Vista TV, dan Indline.com. Ia menulis banyak kolom, esai, dan opini yang membahas identitas manusia Indonesia, kebudayaan modern, serta tantangan sosial bangsa.
Karya dan Pemikiran
Sebagai penulis produktif, Radhar menghasilkan banyak buku dalam berbagai genre: puisi, esai, cerpen, dan naskah drama. Beberapa karyanya yang penting antara lain:
- Simfoni Duapuluh (kumpulan puisi, 1985)
 - Lalu Waktu (kumpulan puisi, 1994)
 - Menjadi Manusia Indonesia (esai humaniora, 2002)
 - Lalu Batu (kumpulan puisi, 2004)
 - Jejak Posmodernisme: pergulatan kaum intelektual Indonesia (2004)
 - Cerita-Cerita dari Negeri Asap (kumpulan cerpen, 2005)
 - Inikah Kita: mozaik manusia Indonesia (esai humaniora, 2006)
 - Dalam Sebotol Cokelat Cair (esai sastra, 2007)
 - Metamorfosa Kosong (kumpulan drama, 2007)
 - Lalu Aku (kumpulan puisi, 2011)
 - Manusia Istana (kumpulan puisi, 2015)
 
Lewat karya-karyanya, Radhar sering menyoroti kemanusiaan, ketimpangan sosial, dan krisis moral bangsa. Ia percaya bahwa sastra bukan sekadar karya estetis, tetapi juga alat kritik sosial dan refleksi diri kolektif.
Aktivitas Publik dan Kepemimpinan
Selain dikenal sebagai penulis, Radhar juga merupakan sosok organisatoris dan penggerak kebudayaan. Ia mendirikan Perhimpunan Pengarang Indonesia (PPI), sebuah wadah yang memperjuangkan eksistensi dan hak-hak penulis tanah air. Ia juga menjabat sebagai Presiden Federasi Teater Indonesia, dan aktif membangun ruang dialog lintas komunitas seni.
Kiprahnya di dunia teater berawal dari keterlibatannya di Bengkel Teater Rendra, di mana ia berproses bersama tokoh-tokoh seperti Sitok Srengenge dan Adi Kurdi. Dari sana, ia mengembangkan pandangan bahwa seni pertunjukan bukan sekadar hiburan, tetapi media pencerahan sosial.
Radhar juga pernah menjadi pengajar di Universitas Indonesia, dan dikenal sebagai pemikir publik yang sering diundang dalam seminar, diskusi budaya, maupun talkshow televisi. Pada tahun 2019, ia dipercaya oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi salah satu panelis Debat Calon Wakil Presiden, bersama akademisi seperti Samsul Riza, Dwia Aries Tina Pulubuhu, dan Anis Hidayah — bukti pengakuan publik terhadap kredibilitas intelektualnya.
Penghargaan dan Pengakuan
Dedikasi Radhar terhadap seni dan kebudayaan membuatnya memperoleh sejumlah penghargaan bergengsi, antara lain:
- Terpilih sebagai salah satu dari lima seniman muda masa depan Asia versi NHK (1996)
 - Paramadina Award (2005)
 - Duta Terbaik Pusaka Bangsa dan Duta Lingkungan Hidup sejak 2004
 - Medali Prix de la Francophonie (2007) dari 15 negara berbahasa Prancis
 
Penghargaan tersebut tidak hanya mencerminkan kiprahnya sebagai seniman, tetapi juga sebagai pemikir lintas budaya yang diakui dunia internasional.
Pandangan dan Visi
Radhar Panca Dahana dikenal dengan visinya tentang “Manusia Indonesia” — konsep yang sering ia angkat dalam tulisan dan diskusinya. Ia menilai bahwa bangsa Indonesia perlu kembali memahami nilai-nilai kemanusiaan, empati, dan kesadaran sosial yang sejati.
Baginya, kemajuan suatu bangsa tidak hanya diukur dari pembangunan fisik, tetapi juga dari kualitas berpikir dan sensitivitas moral warganya. Dalam berbagai kesempatan, ia menekankan bahwa budaya seharusnya menjadi poros pembangunan, bukan sekadar ornamen.
Kritik dan Kontroversi
Sebagai intelektual publik yang kritis, Radhar tak luput dari kontroversi. Pandangannya tentang moralitas, politik kebudayaan, dan kemerosotan etika publik terkadang dianggap terlalu tajam oleh sebagian pihak. Namun, Radhar selalu menyampaikan kritiknya dengan dasar analisis yang kuat dan niat untuk membangun kesadaran kolektif, bukan menjatuhkan.
Ia kerap mengingatkan bahwa kritik yang jujur justru merupakan wujud cinta terhadap bangsa. Sikap ini membuatnya dihormati lintas generasi — baik di kalangan seniman, akademisi, maupun jurnalis muda.
Warisan dan Pengaruh
Kepergian Radhar pada 22 April 2021 meninggalkan duka mendalam di dunia sastra dan kebudayaan Indonesia. Namun, warisan pemikiran dan karyanya tetap hidup. Banyak kalangan muda yang terinspirasi oleh integritas, keberanian intelektual, dan semangat humanisme yang ia tunjukkan sepanjang hidupnya.
Ia adalah simbol konsistensi: seseorang yang berani berpikir merdeka di tengah arus pragmatisme, yang tetap setia pada idealisme kemanusiaan.
Radhar Panca Dahana adalah contoh nyata intelektual organik — seorang pemikir yang tidak hanya menulis untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masyarakat. Ia menolak tunduk pada kemapanan dan terus menggugat ketidakadilan melalui pena dan suara.
Warisan terbesarnya bukan hanya pada karya, tetapi pada kesadaran untuk berpikir kritis, berbudaya, dan menjadi manusia yang utuh. Dalam setiap tulisannya, Radhar seolah berpesan bahwa menjadi manusia Indonesia berarti menjadi manusia yang berpikir, berempati, dan berani memperjuangkan nilai-nilai kebenaran.