Profil Sutardji Calzoum Bachri: Sang Presiden Penyair Indonesia

Sutardji Calzoum Bachri, lahir di Riau 24 Juni 1941, dikenal sebagai Presiden Penyair Indonesia dan pelopor pembaruan puisi modern lewat Kredo Puisi.

Sutardji Calzoum Bachri, salah satu penyair paling berpengaruh di Indonesia, lahir pada 24 Juni 1941 di Indragiri Hulu, Riau. Namanya begitu dikenal luas karena kontribusinya dalam memperbaharui wajah puisi Indonesia modern. Ia adalah anak dari pasangan Mohammad Bachri dan May Calzoum, berasal dari keluarga besar yang memiliki latar budaya dan geografis yang kaya. Ayahnya berasal dari Prembun, Jawa Tengah, dan merantau ke Riau hingga menjadi Ajun Inspektur Polisi di Kepolisian Negara, sedangkan ibunya berasal dari Tambelan, Kepulauan Riau.

Sutardji Calzoum Bachri

Sutardji merupakan anak kelima dari sebelas bersaudara. Dalam keluarga yang disiplin dan religius itulah, benih-benih ketertarikannya terhadap bahasa dan bunyi mulai tumbuh. Perpaduan latar Jawa dan Melayu, serta kehidupan di lingkungan yang kaya tradisi lisan, memberikan pengaruh kuat terhadap cara pandangnya terhadap kata, ritme, dan makna dalam puisi.

Pendidikan dan Awal Kreativitas

Selepas menamatkan pendidikan menengah di Riau, Sutardji melanjutkan studi ke Universitas Padjadjaran, Bandung, mengambil jurusan Administrasi Negara di Fakultas Sosial Politik. Masa kuliahnya di Bandung menjadi titik awal perjalanan kepenyairannya. Pada tahun 1966, di usia 25 tahun, ia mulai aktif menulis dan mengirimkan puisi serta esai ke berbagai surat kabar di Bandung dan Jakarta.

Dunia kampus dan suasana intelektual Bandung pada masa itu banyak memberi ruang bagi eksplorasi kreatifnya. Ia mulai dikenal melalui karyanya yang tampil beda dari para penyair sezaman. Gaya puisinya yang eksperimental menjadikan namanya mencuat sebagai pelopor generasi penyair angkatan 1970-an.

Kredo Puisi dan Pandangan Kepenyairan

Salah satu tonggak penting dalam karier Sutardji adalah lahirnya “Kredo Puisi” pada 30 Maret 1973, sebuah manifesto yang menyatakan bahwa kata-kata harus dibebaskan dari beban makna dan ide. Menurutnya, kata bukan hanya alat untuk menyampaikan pesan, melainkan entitas yang hidup dan memiliki kekuatan spiritual. Ia berpendapat bahwa menulis puisi berarti “mengembalikan kata ke asalnya sebagai mantra”.

Gagasan ini diterbitkan di majalah Horison pada Desember 1974 dan mengguncang dunia sastra Indonesia. Banyak penyair muda terinspirasi oleh pandangan ini, sementara sebagian pengamat menilainya sebagai revolusi dalam pemahaman estetika bahasa. Karena pengaruhnya yang begitu besar, Sutardji kemudian dijuluki “Presiden Penyair Indonesia” — sebuah gelar simbolis yang menandai kepemimpinannya dalam perkembangan puisi modern di tanah air.

Karya dan Penghargaan

Sepanjang kariernya, Sutardji telah menghasilkan banyak karya monumental. Karya-karya tersebut menjadi referensi penting dalam khazanah sastra Indonesia modern. Beberapa di antaranya adalah:

  1. O (kumpulan puisi, stensilan 1973)
  2. Amuk (kumpulan puisi, manuskrip 1973—1976)
  3. Kapak (kumpulan puisi, manuskrip 1976—1979)
  4. O, Amuk, Kapak (kumpulan puisi, 1981)
  5. Hujan Menulis Ayam (kumpulan cerpen, 2001)
  6. Isyarat (kumpulan esai, 2007)
  7. Atau Ngit Cari Agar (kumpulan puisi, 2008)
  8. Kecuali (kumpulan puisi, 2021)

Karya-karyanya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan dimuat di media internasional seperti Westerly Review (Australia), Writing from the World (Amerika Serikat), serta antologi berbahasa Belanda Dichters in Rotterdam dan Ik wil nog duizend jaar leven.

Empat puisinya — “Shang Hai”, “Solitude”, “Batu”, dan “Tanah Air Mata” — bahkan diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia oleh Victor Pogadaev dalam buku Mencari Mimpi: Puisi Modern Indonesia (Moskow, 2016).

Berbagai penghargaan prestisius pun diraihnya, antara lain:

  1. Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta (1976/1977)
  2. The S.E.A. Write Award (1979) dari Kerajaan Thailand
  3. Anugerah Seni Pemerintah RI (1993)
  4. Anugerah Sastra Chairil Anwar (1998)
  5. Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau (2000)
  6. Gelar Sastrawan Perdana oleh Pemerintah Daerah Riau (2001)
  7. Anugerah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (2006) di Brunei Darussalam
  8. Anugerah Seni Akademi Jakarta (2007)
  9. Bintang Budaya Parama Dharma (2008) dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
  10. Bakrie Award (2008)
  11. Gelar Datuk Seri Pujangga Utama (2018) dari Lembaga Adat Melayu Riau

Karier, Aktivitas, dan Kontribusi Publik

Selain sebagai penyair, Sutardji aktif dalam berbagai kegiatan kesusastraan dan jurnalistik. Ia pernah bekerja sebagai redaktur di majalah Horison, salah satu media sastra paling bergengsi di Indonesia. Kemudian, ia juga menjadi redaktur di majalah mingguan Fokus, dan pada tahun 2000–2002 menjabat sebagai redaktur rubrik budaya “Bentara” di harian Kompas.

Melalui rubrik tersebut, ia banyak menulis esai-esai reflektif yang kemudian dikumpulkan dalam buku Gerak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001 serta Hijau Kelon & Puisi 2002.

Selain berkiprah di dalam negeri, Sutardji juga sering diundang ke berbagai forum internasional, seperti International Poetry Reading di Rotterdam (1974) dan International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1974–1975).

Keterlibatannya dalam kegiatan lintas budaya tersebut memperluas jangkauan pengaruh sastra Indonesia di kancah dunia. Ia dikenal sebagai sosok yang memperjuangkan pentingnya kebebasan kata dan kekuatan bahasa sebagai roh budaya bangsa.

Kontroversi dan Kritik

Sebagai tokoh besar, Sutardji tak luput dari perdebatan. Pandangannya dalam Kredo Puisi — bahwa kata harus bebas dari makna — sempat menuai kritik dari kalangan penyair dan akademisi yang lebih konvensional. Beberapa menilai gagasannya terlalu abstrak dan sulit dipahami pembaca awam.

Namun, banyak pula yang menilai pendekatan Sutardji justru membuka ruang baru dalam estetika puisi Indonesia, memerdekakan bahasa dari belenggu moralitas dan politik makna. Dalam berbagai kesempatan, Sutardji menegaskan bahwa kontroversi bukan tujuan, melainkan konsekuensi dari kebaruan gagasan. Ia tetap konsisten menulis dan berbagi inspirasi bagi generasi penyair muda.

Warisan Pemikiran dan Pengaruh

Sutardji bukan hanya seorang penulis puisi, tetapi juga pemikir bahasa. Ia mengubah cara masyarakat Indonesia memandang kata dan puisi. Dalam karya-karyanya, kata bukan sekadar alat komunikasi, melainkan sumber daya spiritual yang mampu menembus batas logika.

Warisan Sutardji terasa kuat dalam generasi penyair setelahnya, baik dari sisi eksperimentasi bentuk maupun keberanian melawan arus konvensi. Gelar “Presiden Penyair Indonesia” yang disematkan padanya bukan sekadar simbol kehormatan, melainkan pengakuan atas dedikasinya dalam menjaga marwah puisi sebagai ekspresi tertinggi kemanusiaan.

Dengan visi artistik yang kuat dan keberanian untuk menabrak batas konvensi, Sutardji Calzoum Bachri telah mengukir jejak mendalam dalam sejarah sastra Indonesia. Ia bukan sekadar penyair, tetapi juga penafsir makna kehidupan lewat bahasa yang diperlakukannya sebagai makhluk hidup.

Dedikasi panjangnya terhadap dunia kata membuatnya layak disebut sebagai simbol pembebasan bahasa dalam puisi Indonesia modern — seorang seniman yang menjadikan puisi bukan sekadar karya, melainkan pernyataan eksistensi tentang kebebasan, keindahan, dan kemanusiaan.

© Artikel Populer. All rights reserved.